Ketulusan Keenan [20]

22.5K 2.3K 172
                                    

Keenan

Aku nggak tahu harus berkata apa di saat Camila menangis. Aku berusaha untuk memfokuskan pandangan ke depan. Melajukan mobil di jalan raya yang anehnya seperti nggak memiliki arah buatku. Dia menangis dan aku bingung harus bagaimana menghadapi situasi ini.

Isakan kecil tertahannya terdengar jelas olehku di antara bahunya yang sesekali berguncang. Dia menundukkan kepala, kedua telapak tangan menutupi wajah cantiknya yang aku nggak akan salah mengira kalau telah basah oleh air mata.

Tangan kananku masih di kemudi, sementara sebelah tanganku lainnya ingin membelai rambutnya. Semacam untuk memberi ketenangan. Namun tanganku berhenti saat tinggal beberapa inchi saja menyentuh puncak kepalanya.

Camila hanya ingin pulang. Cuma itu yang mungkin dia butuhkan sekarang, jadi aku cukup menuruti permintaanya. Dia perlu ruang untuk sendiri, sehingga rasanya sungkan untuk bertanya mengenai hal apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin akan kutanyakan nanti.

Tapi demi alasan apa aku bertanya kalau malah semakin memperburuk suasana hatinya?
Sebelumnya aku mengira Camila dan kedua wanita tadi saling mengenal karena mereka saling menyapa. Aku tetap melanjutkan transaksiku di meja kasir sampai kudengar teriakan yang bisa dibilang makian.

"Dasar wanita mandul! Wanita tidak tahu diri!”

Potongan kejadian di toko roti tadi sangat membuatku kaget. Wanita yang aku nggak tahu itu siapa, tapi menurutku sangat nggak pantas berucap kasar pada Camila. Aku nggak tahu apa masalah sebenarnya dan apa hubungan Camila dengan wanita di toko roti tadi. Namun kemungkinan besar wanita itu adalah mantan mertuanya.

Ketika kami sudah sampai di depan rumahnya, hanya ada keheningan untuk beberapa saat. Aku masih diam, nggak berniat untuk membuka suara duluan. Apa pun yang kini berkecamuk dalam dirinya, aku merasa segan untuk menginterupsi.

"Terima kasih, ya, Kin," ujar Camila pelan sambil tetap berusaha untuk nggak memperlihatkan wajahnya padaku. Dia hendak membuka pintu mobil sebelum akhirnya lekas kutahan dengan menyentuh lengannya.

"Apa perlu aku temenin?" tanyaku.

Dia menggeleng tanpa melihatku. "Nggak perlu, aku mau sendiri dulu."

Aku memilih untuk nggak berkata apa-apa lagi dan membiarkan Camila dengan keinginannya. Mataku nggak lepas saat dia bergegas keluar dari mobil, membuka pintu pagar, lalu masuk ke rumah. Sebenarnya aku berharap dia mengizinkanku menjadi tempat mencurahkan isi hatinya, tapi sepertinya dia memang butuh ruangnya sendiri.

Di saat seperti ini aku ingin di sampingnya dan memberi dukungan. Aku nggak rela melihat Cintanya Aku tersakiti. Melihatnya menangis membuatku turut bersedih. Seolah yang sudah menyakiti hatinya berarti juga menyakiti hatiku.

Ternyata sudah sedalam ini aku mencintainya.
Tapi dukungan apa yang bisa kutunjukkan bila permasalahannya itu berurusan dengan masa lalu dan menyerempet kata mandul?

•••

Camila

Aku menghabiskan sisa soreku dengan berbaring di atas tempat tidur, memandang langit-langit kamar yang kalau kutatap terus menerus akan muncul gemerlap bintang di sana. Dan aku sadar bahwa itu mustahil.
Kemustahilan yang kuanalogikan pada hubunganku dengan Dimas.

CAMILA [ Sudah TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang