DIMAS [6]

29K 2.9K 174
                                    

Jangan lupa untuk follow akun ini dan tap love cerita ini ya. Terima kasih

•••

"Kamu tahu, kan, Dim, kalau aku cinta sama kamu."

Aku menoleh, menatap Nadia yang berbaring di sebelahku. Selimut menutupi tubuhnya yang polos tanpa busana hingga sebatas dada, begitu juga aku. Kurentangkan sebelah tangan, lalu memberi isyarat padanya untuk mendekat. Kucium lembut puncak kepalanya. Membiarkan hidungku berada sejenak di antara helai rambutnya.

"Aku hanya takut kamu menyukai istri kamu." Nadia berkata lirih. Kurasakan pelukannya begitu erat pada tubuhku.

Ada ketakutan yang ditunjukkannya. Sebuah rasa takut akan kehilanganku.

"Jangan takut gitu, dong, Sayang."

"Gimana aku nggak takut, Dim. Kita sekarang sudah jarang punya waktu untuk berdua aja. Tadi juga kalau aku nggak bohong lagi sakit, kayaknya kamu nggak akan datang ke sini. Iya, kan?"

Aku tidak menjawabnya dan membiarkan dia menggerutu lagi. Nadia sepertinya kesal. Jadi yang perlu kulakukan untuk menenangkannya adalah dengan mengangkat dagunya. Membuat dia dapat dengan jelas menatap mataku. Kuusap lembut pipi halus Nadia, mengagumi bagian dari wajah cantiknya yang berhasil membuatku mabuk kepayang.

Dan tak perlu kuungkapkan lagi padanya tentang perasaanku. Aku hanya perlu mencium bibirnya, membalas pagutannya, menelusuri setiap jengkal tubuh indahnya. Hingga sekali lagi aku mereguk kenikmatan duniawi bersamanya.

•••

Aku haus. Tenggorokanku terasa kering. Namun aku terus melajukan mobil di tengah padatnya kendaraan, masalah haus bisa kuatasi di rumah nanti. Semakin membuang-buang waktu, walau hanya memerlukan beberapa menit untuk sekadar membeli air mineral di pinggir jalan atau di mini market. Pikiranku dipenuhi satu nama.

Camila.

Mengingat dia membuatku buru-buru meninggalkan apartemen Nadia. Bahkan aku tak mau berlama-lama lagi untuk menghabiskan kopi yang telah dibuatkan Nadia.
Sebenarnya semalam aku berniat langsung pulang ke rumah setelah urusan pekerjaan di Bandung selesai dan menolak permintaan Nadia untuk datang ke apartemennya. Namun Nadia beralasan membutuhkan kehadiranku karena dia sedang sakit. Sebagai kekasihnya tentu saja aku tak mau membiarkan dia sendirian, yang ternyata hanya menggunakan alasan palsu agar aku menemuinya.
Ketakutan Nadia ada benarnya. Aku tidak bisa menyangkal perasaanku sendiri. Pikiranku sudah terditraksi oleh istriku, yang aku juga tak mengerti bagaimana mulanya Camila bisa berubah menjadi istimewa bagiku.

Bahkan kemarin pagi aku mencium pipinya. Aku tidak menyangka bisa melakukannya. Terjadi begitu saja. Padahal aku sudah membuat batasan antara aku dan Camila. Batasan yang hampir dua tahun ini kujadikan alasan. Aku, si pria impotensi.

Impotensi?

Tentu saja tidak benar. Itu hanya sebuah kebohongan yang kukarang.
Tidak ada dalam kamus hidupku kosakata 'impotensi'. Seorang Dimas Mahendra Kartadimadja tak mungkin dan tidak akan pernah mengalami impotensi!
Sejatinya aku laki-laki normal dan sehat. Juga sering melakukan hubungan intim bersama Nadia. Aku tangguh di ranjang, kuat berlama-lama, bahkan sampai bisa membuat Nadia menjerit puas.

Faktanya, impotensi merupakan bentuk protes yang bisa kulakukan pada Papa. Dengan begitu, Papa tidak akan pernah mendapatkan keturunan dariku, kalau bukan bersama Nadia. Sedikit jahat? Mungkin iya. Aku sadar telah membuat Camila menjadi korban.

Apa yang kulakukan pada Camila kurasa setimpal dengan apa yang telah Papa lakukan padaku. Itu bagian dari balasanku atas sikap beliau yang seenaknya saja mengatur hidupku. Terlebih urusan percintaan.

Masa hubungan yang sudah berjalan selama satu tahun dengan Nadia harus kurelakan begitu saja, ketika Papa mengeluarkan perkataan yang lebih kepada perintah untuk menikah dengan wanita yang bahkan aku belum pernah bertemu dengannya. Lucu sekali papaku itu!

Papa terlalu terobsesi pada janji dengan teman lamanya. Janji untuk menikahkan anak-anak mereka di masa depan. Perjanjian konyol, bodoh, dan tak masuk akal. Aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu pada anakku kelak. Pemikiran usang dan terlalu kuno untuk menjodoh-jodohkan seorang anak yang memiliki masa depannya sendiri.

Aku tak habis pikir, kenapa Camila mau menerimanya. Dia terlalu penurut dan terlalu baik. Itulah Camila. Dia tidak bodoh, tetapi pemikirannya yang terlalu bijak dan mengukur segala masalah selalu pada sisi positif membuatnya terlihat lemah di mataku. Namun dia seperti tidak pernah mau menunjukkan sisi emosionalnya. Padahal sebelumnya aku berharap bila aku mengaku impotensi, dia akan mempertimbangkan untuk menggugat ceraiku, bukannya malah bertahan hingga sekarang.

Tuntutan Mama juga tidak membuatnya goyah. Aku sengaja tidak membelanya ketika Mama mulai menyudutkan serta menyalahkannya karena belum hamil juga. Memungkinkan dia akan bertambah muak dan benci hidup menjadi istriku. Nyatanya dia tetap bertahan.
Menjadi suatu kesalahan kalau kini Camila mulai menampakkan eksistensinya, karena wanita yang kucintai sebelumnya adalah Nadia.

Atau mungkin saja ini hanya perasaan bersalahku pada Camila, karena telah berbohong padanya. Dan rasa bersalah itu terus menggangguku sekarang.

•••

Saat aku pulang, aku tidak melihat Camila menyambutku. Aku kemudian mencarinya di kamar, tapi kosong. Di ruangan lain rumah ini pun tidak ada.

Ke mana dia?

Kuhempaskan badanku di sofa ruang tengah, membolak-balik saluran televisi dan membiarkannya menyala pada salah satu program acara talkshow. Mataku terpaku pada layar televisi, tetapi pikiranku kembali tertuju pada Camila.

Sial!

Aku lalu berusaha mencegah segala hal tentang Camila yang berseliweran di pikiranku, yang kualihkan pada foto-fotoku bersama Nadia di ponsel. Menikmati wajah cantik Nadia yang membuatku terpesona sejak hari pertama dia mulai bekerja sebagai sekretarisku. Jari telunjukku menggeser lagi layar ponsel, melihat kembali kebersamaanku dengannya pada berbagai momen. Beberapa di antaranya saat kami berdua sedang berlibur ke berbagai kota di dalam atau luar negri. Menyenangkan bisa melewatkan hari bersamanya. Tanpa beban dan tanpa perlu ditutupi seperti sekarang.

Kalau saja Nadia tidak sempat memutuskanku, mungkin aku tidak akan pernah mau menikahi Camila. Keputusanku dipengaruhi oleh kejadian saat Nadia memilih untuk pergi menjauh. Begitu mudahnya dia pasrah menerima kenyataan aku dijodohkan dengan wanita lain. Padahal bagiku, dia adalah segalanya. Aku tidak takut dengan ancaman Papa yang akan mencoret namaku sebagai ahli waris. Harta tidak membuatku menutup cinta pada Nadia. Pada saat itu, aku bertanya-tanya mengapa Nadia tidak mau berjuang bersamaku dan lebih memilih untuk mundur dari hidupku?

Putus asa, marah, dan geram menumpuk. Menyalahkan Papa yang menyebabkan aku harus kehilangan Nadia. Di tengah kekalutan, akhirnya aku memutuskan menerima perjodohan ini. Namun aku tidak akan pernah mau menghasilkan keturunan dari sebuah pernikahan yang tidak berlandaskan cinta.

Namun beberapa hari sebelum pernikahanku dilangsungkan, Nadia datang kembali padaku. Tentu aku merasa lega sekaligus gembira. Walau aku harus memegang tangannya di balik statusku sebagai suami orang lain.

••☆••

CAMILA [ Sudah TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang