Sampai detik ini aku belum juga bisa menghubungi Camila. Beberapa kali aku coba meneleponnya, tapi tetap saja nggak aktif. Sedangkan aku sudah di rumah Farid. Bersama keluarga Farid yang asyik mengobrol tentang apa saja yang sesekali ikut kutanggapi. Namun pikiranku tetap tertuju pada Cintanya Aku yang nggak muncul juga.
Apa dia masih marah sampai nggak mau angkat telepon aku? Sampai handphone juga dia matikan.
"Keenan, kamu kapan mau menikah," tanya wanita paruh baya yang biasa aku panggil Tante Fatma.
"Secepatnya Tante," ujarku mantap.
Percaya diriku tinggi, ya. Ditanya soal menikah jawabannya sudah yakin banget. Padahal nasibku sedang di ujung tanduk dengan Camila.
"Nanti coba kamu belajar sama Farid bagaimana menjadi seorang suami yang baik." Tante Fatma menunjuk pada Farid yang duduk di sebelahku.
"Farid itu contoh suami teladan. Sayang istrinya, bertanggung jawab, nggak suka yang aneh-aneh. Iya, kan, Sil?" Tante Fatma meminta pendapat Sisil yang langsung mengangguk membenarkan.
Bisa dibayangkan kalau aku harus meneladani Farid yang sudah menonton Linda Lovelace di Deep Throat pada saat masih berseragam putih-biru. Yang lebih memilih menonton aksi gangbang Tera Patrick daripada nonton final liga Inggris. Jenis lelaki yang nggak takut kena penyakit kelamin selama dia masih pakai kondom.
Mungkin seharusnya aku bersyukur Camila nggak ada saat Farid dinobatkan sebagai suami teladan oleh mamanya. Belum tahu saja beliau kelakuan anaknya, yang isi kepalanya nggak jauh dari adegan Johny Sins main kasti dan bola bekel sama Nikki Benz.
Tapi sampai Sisil selesai tiup lilin pun cintanya aku belum datang juga.
"Camila belum ada kabar?" Farid menghampiriku yang berdiri di salah satu sudut ruangan.
Aku menggeleng dengan rasa frustasi menatap layar handphone yang nggak ada tanda-tanda Camila menghubungiku. Bagaimana aku nggak khawatir kalau Sisil tadi memberitahu kalau Mila ke kantornya Dimas.
Aku nggak mau berasumsi akan jadi seperti apa kalau mereka bertemu. Jelaslah aku cemburu. Membayangkan cintanya aku sedang bertemu lelaki yang dicintainya, semakin melipatgandakan kekhawatiranku. Tapi aku nggak mungkin datang ke kantor mantan suaminya itu. Datang ke kandang lawan sama sekali nggak akan aku lakukan, kecuali Camila sendiri yang memintaku menjemputnya.
"Nadia apa kabarnya?" tanya Farid.
"Dia mau pergi ke Sidney," ujarku lalu bersandar bersamanya pada tepian meja. Memperhatikan aktivitas orang-orang yang beberapa di antaranya tengah asyik berbincang-bincang.
"Liburan?"
Aku menggeleng. "Dia mau menetap lama di sana."
"Kenapa? Kok bisa?" Suaranya terdengar terkejut, membuatku menoleh karena heran dengan keantusiasannya itu.
Aku mengedikkan pundak. "Gue juga nggak tahu pasti kenapa dia memilih pindah ke Sidney. Itu sudah keputusannya. Lo pasti tahu kalau adik gue itu orangnya selalu ingin mandiri."
Farid tentu tahu bagaiman sifat adikku itu, yang juga sudah dia kenal dengan baik. Dulu kami bertetangga, yang juga menjadi awal mula persahabatanku dengan lelaki arab ini. Bersekolah di SMP yang sama, lalu berlanjut di SMA yang sama pula. Sebelum akhirnya Ayah harus pindah ke Makassar di tahun ke duaku di SMA, karena mendapatkan promosi jabatan sebagai direktur pada salah satu rumah sakit umum daerah di Makassar.
Dan perpisahanku dengan kota Jakarta nggak perlu berlangsung lama, karena aku memilih melanjutkan kuliah di Jakarta, yang membuatku bisa kembali bertemu dengan sahabatku ini. Kebetulannya kami sama-sama satu universitas, tapi beda jurusan. Aku kedokteran dan dia tekhnik sipil.
"Berapa lama rencananya dia di sana?" Farid bertanya lagi.
"Gue nggak tahu, tapi yang pasti, sih, dia mau tinggal lama di sana."
Farid seperti berpikir tentang sesuatu, lalu diam tanpa berbicara lagi. Keterdiaman Farid yang agak aneh.
Aku membalas senyum Sisil ketika wanita berambut sebahu itu tersenyum ke arah kami. Lebih tepatnya tertuju pada Farid yang sedang sibuk dalam pikirannya sendiri. Sisil lalu kembali larut dalam obrolannya dengan tante Fatma.
"Kapan lo bisa berhenti bermain-main dengan hidup lo?" Daguku menunjuk pada Sisil. "Apa lo nggak merasa bersalah berbohong sama Sisil?"
"Lo tahu gue, Kin. Gue, ya, begini. Nggak ada yang perlu gue ubah."
"Tapi ini menyangkut komitmen, tanggung jawab lo sama Tuhan karena sudah menikahi dia."
"Tumben lo bahas ini," tukasnya heran.
"Karena gue pikir membuat rumah tangga lo sendiri hancur, itu adalah tindakan orang tolol."
"Lo pikir gue tolol?"
"Ya lo kira-kira aja sendiri tentang ketololan lo."
Farid nggak menanggapi. Dia menepuk bahuku pelan, memberi isyarat dengan kedikan kepalanya ke arah Sisil. "Gue ke sana dulu."
Farid bergabung dengan Sisil dan mamanya. Dan aku memilih untuk pamit pergi. Agar bisa secepatnya mencari tahu tentang kabar Cintanya Aku.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...