"Bagaimana menurut kamu, Dim?" Aninda berdiri di depanku dengan gaun pengantin ke tiga yang dia tunjukkan.
Aku mengamatinya. Dia tampak anggun mengenakan kebaya modern berpotongan dada rendah, berhiaskan payet-payet. Membentuk siluet tubuhnya yang ramping. Jujur, itu semakin mempercantik dirinya.
Aku mengangguk untuk menunjukkan perhatian. Namun pikiranku masih terbang ke lain tempat. Pikiran masih tidak mau bergerak menjauh dari pertemuanku dengan Camila tadi di kantornya. Sebelum aku bertemu dengan Aninda untuk fitting baju pengantin kami.
Aku harap dia tidak menemukan ketidakantusiasanku ini, yang harus kututupi dalam senyum. Tapi kuakui, Aninda sangat cantik mengenakannya. Walau terbersit pemikiran liar, kalau saja bukan Aninda yang kini berdiri di hadapanku mengenakan gaun itu, melainkan Camila.
Aninda masuk kembali ke dalam fitting room yang tertutup tirai tinggi, ditemani seorang wanita pegawai butik. Aku lebih cepat menyelesaikan bagianku dan tidak melakukan banyak perubahan pada setelan jasnya. Mungkin karena laki-laki tidak memerlukan banyak detail seperti halnya wanita.
Sekilas aku tangkap kata-kata Aninda yang dibarengi dengan penjelasan dari desainer sekaligus pemilik butik dengan gaya khasnya yang terlalu kemayu untuk ukuran seorang lelaki tulen. Aku mendengar permintaan Aninda yang ingin mengubah beberapa detail pada gaunnya. Laki-laki itu mencatat, sesekali mengangguk, mengeluarkan pita ukur, lalu menancapkan beberapa jarum pentul pada bagian gaun atau kebaya yang dilipat.
Aku hanya sesekali menanggapi. Tidak terlalu fokus pada diskusi mereka. Aku tidak memiliki minat yang cukup besar dalam mempersiapkan pernikahan ini.
Kami sudah saling mengucapkan salam perpisahan di parkiran, karena Aninda membawa mobil sendiri. Aku segera masuk ke dalam mobilku, memasang safety belt, dan bersiap menyalakam mesin, ketika tiba-tiba pintu di sisi kiri mobilku terbuka. Aninda langsung mendaratkan tubuhnya di sebelahku.
"Temenin aku makan malam, ya," tukasnya cepat, yang tanpa perlu menunggu jawabanku, dia langsung memejamkan matanya. Kepalanya bersandar pada kaca jendela.
Aku terdiam sejenak. Memandanginya dengan tatapan heran. Lantas aku berpikir sangat tidak etis kalau aku menolak ajakan calon istriku sendiri. Tanpa harus bertanya lagi, segera kulajukan mobilku menuju bilangan Sudirman. Lalu kami melewati makan malam di 8 Lounge Hotel Ritz Carlton.
Tidak banyak topik obrolan yang kami bicarakan saat kami menikmati makan malam. Aninda lebih banyak diam. Dia seperti sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai Aninda mengajakku untuk berpindah tempat di area outdoor. Dan karena 8 Lounge terletak di rooftop, maka kami bisa menikmati udara malam dengan kemegahan gedung-gedung pencakar langit di sekelilingnya.
Aninda tertawa saat aku lebih memilih mocktail daripada minuman beralkohol lainnya.
"Aku nyetir," ujarku beralasan.
Udara malam berembus dingin, dengan angin yang berkali-kali menampar lembut helaian rambut Aninda. Membuatnya harus sering menggerakkan jemari tangannya untuk sekadar merapikan. Hanya ada beberapa orang saja di outdoor selain kami yang duduk di beberapa sudut sofa. Kami hanya sedikit tertawa malam ini. Seperti ada permasalahan yang sama-sama kami miliki.
"Apa yang sedang kamu pikirin waktu di butik tadi? Kamu bahkan nggak nawarin aku makan malam, Dim." Aninda melirikku sambil menggoyang-goyangkan segelas cosmo di tangannya. Menyesapnya perlahan lalu berkata lagi, "Itu nggak sopan," candanya sembari menggerak-gerakkan telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...