•Keenan
Nadia menundukkan kepala. Pasti dia tahu kalau aku luar biasa kecewa. Aku sangat marah padanya. Kalau perlu memberondongnya dengan banyak sekali rutukan kekecewaan. Tapi aku mencoba menahan itu semua. Semarah-marahnya aku, tetap nggak tega melihat keadaan adik sendiri yang tampak pucat dan lemah.
Tidak ada yang bersuara sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit. Aku fokus menyetir. Nadia diam memejamkan mata. Aku nggak tahu pasti dia sedang tidur atau nggak. Aku lelah membahas masalah ini. Kemarahanku yang terkuras saat menghajar Farid sangat memeras tenaga. Hingga rasa kecewa itu membatu dan nggak tahu lagi harus bagaimana aku menunjukkannya pada Nadia.
Dia diam saja dan nggak memprotes karena aku nggak mengantar pulang ke apartemennya. Melainkan ke rumah kami.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Tanpa mengatakan apa pun padanya.
Kepalaku terasa berat. Aku butuh tidur. Seenggaknya aku ingin melegakan pikiranku sebentar saja dari masalah ini.
"Keenan."
Aku masih berdiri mencari obat flu yang kutaruh di dalam laci nakas, saat Nadia sudah berdiri di depan pintu kamar.
Aku melihatnya gelisah. Berjalan pelan mendekatiku. Terlihat ragu.
"Maafin aku," ujarnya lirih.
Aku masih diam, seolah nggak menggubris kehadirannya. Kuambil satu blister obat flu yang baru saja kutemukan, lalu meraih botol air mineral yang biasa kutaruh di atas meja dan menenggaknya bersamaan dengan pil.
Nadia berkata lagi, "Aku yang akan mengurus bayi ini sendiri. Aku nggak akan ngerepotin siapapun. Kamu nggak perlu khawatir dengan itu. Dan aku juga nggak akan minta tanggung jawab Farid."
Seketika kejengkelanku kembali muncul mendengar nama Farid disebut. Aku ingin sekali marah. Tapi kepalaku sudah cukup pusing untuk menyerap kembali masalah ini.
"Tolong maafin Farid. Dia nggak salah. Sudah cukup dengan kamu menghajar dia tadi."
"Itu sama sekali belum cukup, Nad!" Aku buru-buru menggeleng, menunjukkan seberapa besar kekecewaanku. "Kalian sudah melakukan tindakan yang nggak pantas."
"Antara aku dan Farid nggak ada apa-apa, Kin. Ini hanya kesalahan yang nggak disengaja. Kami sama-sama terlalu banyak minum dan ...." Nadia memutus perkataannya. Membiarkanku memahami sendiri maksudnya.
"Itu namanya kesalahan, Nad. Kalian berdua sudah salah. Salah tetap aja salah, nggak akan bisa menjadi pembenaran setelah kamu melakukan sesuatu yang keliru!"
Aku mendesah keras, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar sebelum menatapnya kembali dan berkata, "Apa kamu juga mikirin perasaannya Sisil? Apa kamu nggak kasihan sama dia?"
"Aku sudah coba buat jelaskan langsung ke Sisil, karena aku nggak akan pernah merebut Farid dari dia. Buat apa? Yang terjadi sekarang nggak pernah melibatkan perasaan. Aku nggak punya perasaan khusus sama Farid."
"Tapi si berengsek itu bilang dia cinta sama kamu!" Aku bahkan nggak sudi menyebut bekas temanku dengan namanya.
"Tapi aku nggak ada perasaan apa pun sama Farid. Aku nggak akan tega merusak rumah tangga teman aku sendiri."
"Kenyataannya kamu sudah merusaknya, Nad," sindirku tajam. "Bisa-bisanya kamu mengulangi kesalahan yang sama."
"Kesalahan yang sama?" ulang Nadia sepertinya masih belum paham maksud kata-kataku tadi.
"Apa kamu juga berselingkuh dengan Dimas?" tanyaku cepat.
Dia terkesiap. Menatapku sesaat sebelum akhirnya berkata, "Dari mana kamu tahu tentang Dimas? Apa Camila yang bilang?"
"Camila nggak pernah mengatakan apa-apa tentang kamu. Aku nggak nyangka kalian bisa berpura-pura nggak saling kenal." Aku mengingatkan pada saat Camila datang ke rumah.
Nadia menggigiti bibir bagian bawahnya. "Aku nggak pernah merasa berselingkuh dengan Dimas. Aku yang lebih dulu memiliki dia. Camila yang merebut Dimas dari aku." Nada suaranya berubah menjadi tajam dan penuh penekanan. "Aku mencintai Dimas. Apa salah?"
"Cinta kamu bisa jadi salah kalau kamu merusak kebahagiaan orang lain."
"Terlalu naif mengagungkan sebuah hubungan hanya berdasar pada kelegalan di atas kertas. Dulu Dimas mencintaiku, Kin. Camila yang meram ...."
"Sekarang apa Dimas masih cinta sama kamu?" potongku sebelum dia menuntaskan perkataannya. "Kamu bisa berpikir, kan, Nad, gimana rasanya menghancurkan kebahagian orang."
"Kamu nggak tahu apa-apa tentang masalahku dengan Camila. Jadi kamu nggak bisa menghakimi aku sebagai penyebab kehancuran dia." Nadia tetap pada pendiriannya. "Kalau kamu berpikir hanya Camila yang pantas bahagia, itu nggak adil. Apa aku juga nggak pantas buat bahagia?"
"Apa kamu nggak merasa bersalah sama Camila, Nad?"
Nadia menggeleng.
Tapi aku yang merasa bersalah. Beban itu yang Nadia timpakan padaku. Membuatku paham, kenapa Camila memilih untuk meninggalkan aku. Dan aku sekarang bisa menerima keputusan yang Camila ambil, karena itu yang terbaik buat dia.
Tapi apa itu juga menjadi yang terbaik buatku?
Aku duduk di tepi tempat tidur, sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan muka. Berusaha menenangkan diri dari apa pun itu yang berkecamuk dalam benakku sekarang.
Nadia mungkin mengira dengan membiarkan aku sendiri akan jauh lebih baik, daripada harus membahas lagi masalah tentang Dimas. Dia lalu melangkah keluar dari kamarku.
"Kamu harus kasih tahu Ayah," tegasku yang membuat langkahnya terhenti. "Aku nggak mau kamu menutupinya dari Ayah."
"Ayah sudah tahu." Hanya itu yang dia katakan dan bergegas meninggalkan kamarku.
Jadi Ayah sudah tahu?
Sekarang aku mengerti kenapa waktu itu sikap Ayah tiba-tiba berubah murung. Dan hal itu membuatku berkali-kali lipat merasa bersalah karena membuat Ayah kecewa. Aku yang nggak bisa menjaga adikku sendiri dengan baik.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...