Chapter 3 -- Decision

112K 4.7K 67
                                    

Rama memasukki restoran dengan Inez yang mengekor dibelakangnya. Kedua keluarga itu menatap mereka berdua. Tanpa suara, Rama dan Inez duduk kembali di kursi masing-masing.

Seketika, suasana menjadi canggung.

"Ehm... Nda, apa konsekuensinya kalau Rama nolak perjodohan ini?" Tanya Rama. Bahasanya kembali kaku.

"Nama kamu akan dicoret dari keluarga Handaru," ujar Ayah. Rama kaget setengah mati. Jantungnya berdetak lebih cepat.

"Ayah serius?" Beliau hanya mengangguk. "Tapi Ayah tahu, tanpa ancaman inipun, kamu tetap akan menerima keputusan kami."

Rama melirik ke arah lain dengan sinis.

"Lalu Ma..." Kali ini, Inez yang berbicara. "Kalau Inez nggak mau, gimana?"

Mama hanya menatap Inez. "Kamu nggak sayang sama Mama, Nez?"

Yah, kalau udah gini, mau jawab apalagi, batin Inez.

"Kalau kamu masih sayang sama Mama sama Papa, kamu nurut lah apa kata kami," ujar Mama. Disebelahnya, Papa hanya diam, tetapi tatapannya mencoba meyakinkan Inez bahwa semua akan baik-baik saja.

Mereka berdua sama-sama menghela napas.

"E-ehm... Maaf nih... Tapi, kita kapan makannya, ya? Keburu dingin, nanti jadi nggak enak, loh," ujar Aldi. Hampir saja, Inez melempar kakaknya dengan sendok. Bisa-bisanya suasana lagi mencekam, dia masih mikirin makanan.

"Eh iya, sampai lupa, kan. Ayo-ayo, dimakan yang banyak," ujar Bunda sambil menyendokkan nasi ke piringnya. Disusul Mama, Papa, Ayah, Allya, dan Aldi. Setelah itu, baru Rama, dan yang terakhir adalah Inez.

Mereka semua makan dengan lahap sambil berbincang. Kecuali Rama dan Inez, yang merasa makanan mereka sudah hambar.



Sesampainya dirumah, Inez langsung memasukki kamar. Dia tidak mempedulikan form UKM yang harusnya diisi.

Inez mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dia mencoba menghubungi Sophia dan Arina, sahabatnya, tapi tidak diangkat.

Udah jam 11 malam? Pantesan, batinnya. Dia menaruh ponselnya dengan agak kasar diatas meja belajar. Tepat saat itu, ada pesan masuk.

From: +628727741588

Jangan tidur malam-malam. Besok kuliah. Night.

R.

R? Rama?

Setelah menyimpan kontaknya, Inez membalas pesan itu.

To: Ramakrisna

Lo juga. Night.

I.

Karena ditunggu beberapa menit tidak ada balasan, Inez memutuskan untuk mencuci muka, gosok gigi, dan berganti pakaian. Lalu, dia berbaring diatas kasurnya yang empuk.

Tak lama, Inez pergi ke alam mimpi.



Rama membaca pesan masuk di ponselnya. Sejak pulang dari restoran, dia tidak sempat membuka hp-nya. Ada 3 pesan masuk.

From: Maura

Yang, besok jemput aku ya...

From: Maura

Kok nggak dibales? Miss you...

From: Aldi

Ini nomornya +6287224681012

Rama tidak membalas pesan Maura. Dia lebih tertarik pada pesan dari Aldi, kakaknya Inez. Kebetulan, tadi mereka sempat mengobrol dan Rama meminta nomor ponsel Aldi dan Allya, jaga-jaga kalau perlu sesuatu. Hanya saja, dia terlalu malu untuk meminta nomor ponsel Inez secara langsung. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dengan segera, dia menyimpan kontak tersebut. Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, Rama memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada gadis itu.

To: Inez

Jangan tidur malam-malam. Besok kuliah. Night.

R.

Sok misterius? Cheesy? Rama tidak peduli. Tanpa menunggu balasan dari Inez, dia menaruh hp-nya di atas nakas, lalu ganti baju dan tidur.



Inez's POV

Masih pagi, dan aku sudah merasa tidak betah dirumah.

Bagaimana tidak, tadi begitu aku bangun, Mama langsung bertanya bagaimana keputusanku mengenai perjodohan semalam. Bersedia atau tidak.

Aku mencoba untuk tidak menghiraukan, tapi bukan Mama kalau beliau tidak memaksa dengan caranya sendiri, yaitu ngekorin aku kemanapun aku pergi. Even to the bathroom.

Dengan kesal, aku berbalik menghadap Mama. This is it, be ready, Nez...

"Oke. Aku terima."

Mama hampir melonjak mendengar jawabanku. "Terima apa?" Tanyanya memastikan.

"Terima perjodohan aku sama Rama lah! Apa lagi emang?" Jawabku sewot.

Tiba-tiba, Mama memelukku. Dan entah kenapa, aku suka pelukan ini. Beda dari biasanya. Seakan-akan, Mama sangat bangga padaku. Padahal ini cuma masalah perjodohan.

Lalu Mama melepaskan pelukannya dan menatapku ragu.

"Kamu serius, Nez?" Tanya beliau. Aku hanya menghela napas.

"Serius, Ma."

"Emang kamu beneran nggak punya pacar?" Aku menatap Mama dengan heran.

"Kan kemarin-kemarin aku udah bilang kalau putus, Mama lupa?" Ujarku. Mama tersenyum lebar.

"Enggak, Mama ingat kok. Cuma mau memastikan." Setelah itu, beliau pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Hal yang wajar.

Yang nggak wajar adalah ketika Mama pergi ke dapurnya itu sambil melompat kegirangan.



Author's POV

Rama menatap kedua orang tuanya. Nasib, pagi-pagi niatnya sarapan bareng sebelum kuliah, eh malah disidang dulu.

"Jadi, gimana keputusan kamu, Ram?" Tanya Bunda.

"Ancaman semalam itu beneran berlaku ya, Yah?" Rama tidak menjawab pertanyaan Bunda, malah bertanya ke Ayah.

Ayah mengiyakan. Matanya masih tertuju pada koran yang sedang dibacanya.

Setelah memantapkan hatinya, Rama menghela napas lagi. "Ya udah, Rama setuju."

Bunda dan Ayah langsung menatapnya. Tidak ingin lebih lama di sidang, Rama segera berdiri dari kursinya.

"Rama kuliah dulu."

Lebih baik kuliah daripada harus berurusan sama beginian.

Forced WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang