Chapter 14 -- Feeling(s)

79.6K 3.3K 71
                                    

"Rin, Sof, apa gue suka sama Rama ya?"

Arina dan Sophia hampir saja menyemburkan makanan mereka.

"Serius, Nez?" Tanya Sophia. "Secepat itu?" Sambungnya.

Inez mengangkat bahu. "Tadi gue cuma asal ngomong. Gue sendiri bahkan nggak tahu gimana perasaan gue yang sebenarnya."

"Walaupun gue baru sebentar dekat terus nikah sama dia, rasanya tuh beda. Seakan-akan gue udah lama kenal dia. Belum lagi kalau dia udah 'godain' gue. Perasaan gue tuh...kayak ada kupu-kupu terbang di perut gue gitu," lanjutnya.

Kedua sahabatnya tertegun mendengar ucapan Inez. Mereka memikirkan satu kalimat yang sama.

"Gue rasa...lo jatuh cinta, Nez."

Rama menatap kamarnya dengan pandangan kosong. Dia belum--tidak--pernah seperti ini sebelumnya. Ini semua merupakan perasaan yang baru, yang tidak pernah dirasakannya ketika bersama Maura, bahkan saat masih bersama Ve.

Mau jujur? Dia merindukan istri mungilnya. Dia rindu wangi almond yang tercium ketika gadis itu berada di dekatnya. Dia rindu wajah polos gadis itu ketika tidur, yang sering diintip Rama diam-diam.

Dia rindu Inez Mahestari. Bukan. Inez Handaru.

Jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Dia tidak bisa tidur, namun besok ada bimbingan skripsi jam 8 pagi.

Akhirnya, Rama memaksakan matanya untuk terpejam, sambil membayangkan Inez tidur disampingnya.

Pagi itu terasa lebih hambar buat Rama. Setengah berharap Inez akan menghubunginya, namun ternyata tidak ada notifikasi di ponselnya.

Sarapan pun, dia membuatnya dalam dua porsi. Ketika baru sadar tidak ada Inez, dia memasukkan piring satunya lagi kedalam kulkas.

Tak lama, terdengar klakson mobil didepan rumahnya, disertai ponselnya yang berbunyi.

Brian Calling

"Coy, ayo ke kampus bareng, ada Revan sama Vian nih. Curang lo kemarin cuma cerita ke Revan. Gue ama Vian kan juga mau gosip bareng," ujar Brian. Rama bisa mendengar suara Vian yang berkata; 'Anjrit homo banget lo!'.

Rama tertawa kecil mendengar keributan mereka.

"Nah, gitu dong ketawa. Ayo lah, cepetan keluar," kali ini giliran Revan yang berbicara.

"Oke, bentar ya."

"WOY! Sendu banget lo, Nez," seru Iraz. Hal itu membuat Inez kaget dan hampir menjatuhkan buku yang dibawanya.

"Kenapa lo? Nggak kayak biasanya," ujar Iraz lagi. Dia berjalan disamping Inez. Kebetulan, kelas mereka sama, sedangkan Arina ada kelas lain.

Kalau Sophia, jangan tanya. Dia masih tidur dengan manisnya dikamar Arina, setelah semalam begadang nonton drama Korea.

Melihat Inez yang hanya berjalan dengan tatapan kosong, Iraz mengguncang bahu gadis itu.

"Inez." Sekali panggil, Inez tidak menghiraukan.

"Mahestari." Dua kali panggil, tidak dihiraukan juga.

"Inez Mahestari istrinya Rama." Mendengar nama Rama disebut, Inez langsung menatap Iraz, yang sedang menatapnya dengan raut khawatir.

"Lo kenapa? Galau? Rama ngapain?" Cecar Iraz. Dia langsung menarik Inez ke kursi terdekat. Setelah mereka duduk, barulah Inez menceritakan semuanya.

Iraz mendengarkan dengan seksama, tidak berniat memberi komentar--tidak ditengah. Barulah setelah Inez selesai bercerita, dia mengeluarkan apa yang ada di pikirannya.

"I think, Inez Mahestari, you're in love."

"Hm. Kemarin Sophia sama Arina juga bilang begitu," timpal Inez.

"Sophia siapa?"

"Sahabat gue," ujar Inez. "Bahkan gue nggak tahu gimana perasaan gue sendiri, Raz. Gue nggak pernah se-bingung ini."

Iraz berpikir sejenak. "Sepertinya, dari cerita lo barusan, gue sedikit tahu suami lo itu tipe yang seperti apa. Dan menurut gue, dia bukan tipe cowok yang suka mendengar perempuan 'ngaku' duluan. Ngerti maksud gue?"

"Sama dengan gue. Gue adalah tipe cowok yang nggak suka kalau cewek ngaku duluan. Kolot, istilahnya, karena buat gue harusnya cowok yang ngaku lebih dulu. Dan Rama adalah tipe yang seperti itu. Jadi saran gue, jangan bilang kalau lo sayang sama dia sebelum dia bilang duluan. Lo cukup kasih dia perhatian lebih, lewat perbuatan lo, pasti dia akan sadar sendiri," lanjutnya.

Inez tertegun mendengar penjelasan Iraz. Jadi Rama begitu...?

Melihat tidak adanya respon dari Inez, Iraz segera menepuk bahunya. "Udah, nggak usah dipikirin. Nanti juga dia ngaku kok. Percaya deh, sama gue."

Iraz mengecek jam tangannya. Kelas akan dimulai 5 menit lagi.

"Ke kelas yuk."

"Oalah. Jadi gara-gara lo ketemu sama pacar pertama lo?" Tanya Vian sambil memakan es krimnya. Lalu dia melahap kentang yang ada di hadapannya.

"Ralat, cinta pertama," ujar Rama.

"Ralat, pacar pertama nggak harus jadi cinta pertama," sambung Brian.

Revan hanya tergelak mendengar pembicaraan itu, membuat pengunjung McD disekitar mereka menoleh--penasaran akan apa yang diperdebatkan oleh keempat pria berparas rupawan itu.

"Oke, jadi sekarang perasaan lo gimana ke Inez?" Tanya Brian kemudian. Rama mengangkat bahu.

"Nggak tahu. Gue bingung. Dibilang biasa aja juga nggak, dibilang sayang juga belum pasti," ujar Rama. Vian melempar tisu bekas ke arah Rama.

"Gaya lo, Ram. Dulu waktu sama Maura juga nggak segininya."

"Nggak segininya gimana?" Tiba-tiba terdengar suara perempuan dibelakang Rama. Dia tahu pasti suara siapa itu.

Revan, Vian dan Brian mendadak diam. Dibelakang Rama, Maura berdecak tidak sabar.

"Ram, kamu belum kasih penjelasan sama aku. Kenapa kamu putusin aku? Jangan bilang karena kamu udah nikah." Maura terus berbicara dengan keras, membuat pengunjung lain menoleh lagi karena penasaran.

"Rama kamu bahkan nggak sayang sama si Inez-Inez it--"

"Jangan ngomong yang aneh-aneh tentang Inez," potong Rama. Dia berdiri dihadapan Maura, tatapannya dingin. Lalu, Rama menoleh ke sahabat-sahabatnya, memberi kode untuk segera meninggalkan tempat itu.

Sebelum menyusul ketiga sahabatnya, Rama mendekatkan mulutnya ke telinga Maura sambil membisikkan sesuatu yang dari tadi--dari kemarin, bahkan--dipendam dalam hatinya.

"Dan lo salah. Gue sayang sama istri gue."



*

Makasi yaa yang udah menyempatkan baca, nge-vote dan comment...

Maaf banget kalau ceritanya masih abal-abal, namanya juga baru belajar :)

Selamat membaca!

-np

Forced WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang