Chapter 5 -- Announcement

83.5K 3.6K 19
                                    

Inez's POV

Ting ting ting!

Suara gelas yang dibunyikan Bunda menggema ke penjuru ruangan.

Oh, for your information, sejak saat ini ibunya Rama bersikeras agar aku memanggilnya Bunda, sama seperti Rama. Begitu juga dengan Ayahnya. Orang tuaku juga menyuruh Rama memanggil mereka dengan Mama-Papa, biar terbiasa katanya.

Aku duduk diantara Kak Aldi dan Rama. Di sisi lain Kak Aldi, Kak Allya dan Kak Virgo duduk berdampingan.

Disekelilingku ada banyak saudara-saudara yang datang dari jauh, meskipun yang ada sekarang ini hanya sebagian. Ada banyak yang tidak ku kenal, mungkin itu keluarganya Rama.

Kembali lagi ke Bunda, beliau meletakkan gelasnya di meja. Bunda mengajak Ayah, Mama, dan Papa untuk maju kedepan.

"We have an announcement." Bunda melihat sekelilingnya sambil tersenyum. Ketika menatapku dan Rama, senyumnya semakin lebar. "Bukan tanpa alasan kita semua berkumpul di sini. Dan salah satu alasan yang terpenting, yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah..."

Aku menatap Rama. Pandangannya kosong, cenderung dingin. Disekeliling matanya terdapat lingkaran berwarna hitam. Apa dia tidak tidur semalam?

"Kami akan menikahkan anak kami, Ramakrisna Handaru, dan Inez Mahestari..."

Ruangan itu yang tadinya hening, berubah menjadi ramai dengan ucapan selamat dan sebagainya. Bahkan, nenekku dan neneknya Rama saling berpelukan.

"Maka dari itu, kami harap, Inez dan Rama bisa maju sebentar ke depan," ujar Mama sambil melirik kami berdua.

Tidak, aku tidak siap. Tidak bisa seperti ini. Ma, Pa, Inez nggak cinta sama Rama...

Seseorang menggenggam tanganku. Rama. Dia membantuku berdiri.

Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi, badanku lemas. Sepertinya Rama menyadari hal itu, karena dia menggenggam tanganku dengan erat, menahanku agar tidak pingsan. Mungkin sekaligus menenangkan diri.

Aku hanya menatap kosong kedepan, kehadapan semua orang yang ada disana. Senyum yang tercetak dibibirku hanya sebagai topeng. Sebenarnya, saat ini aku ingin muntah. Aku ingin pingsan. Kepalaku sakit sekali.

"Lo kenapa?" Aku mendengar suara Rama ditelingaku.

"Gue pusing, Ram."

Rama menoleh pada Mama dan Bunda yang sedang tersenyum bahagia melihat kami.

"Nda, Ma, Rama bawa Inez kedalam ya. Dia pusing katanya."

Itu ucapan terakhir Rama yang aku dengar sebelum kesadaranku hilang total.



Rama's POV


Aku menatap Inez yang saat ini berbaring diatas kasurku. Disudut lainnya, Mama dan Bunda memijit kaki dan tangan Inez.

"Ma, Inez kenapa sering pingsan ya?" Mama menoleh mendengar suaraku. Jujur saja, meskipun sikapku tidak acuh sama dia, aku masih peduli. Toh, nantinya dia akan menjadi istriku. Meskipun aku tidak memiliki rasa apa-apa terhadapnya, bahkan cinta.

"Inez itu punya penyakit darah rendah. Dia bisa pingsan kalau kecapekan dan banyak pikiran," jawab Mama.

Setelah berapa lama, Mama dan Bunda keluar kamar karena keluarga yang lain mulai khawatir. Meninggalkan aku dan Inez disini.

"Mmh..." Suara Inez menyadarkan lamunanku. Dia membuka matanya dan menatapku.

"Haus..." Ujarnya lagi.

"Sebentar ya, gue ambil minum dulu," ujarku. Aku bergegas ke dapur.

Sesampainya di pintu dapur, langkahku terhenti karena mendengar suara Mama dan Bunda. Mereka sedang berbicara di dapur, jadi aku memutuskan untuk menguping. Siapa tahu ada hubungannya denganku atau Inez.

"Iya... Kalau begitu ceritanya, lebih baik di percepat saja jadi minggu depan, Del. Lagipula, 2 minggu lagi Rama mau operasi usus buntu. Dia juga lagi persiapan skripsi. Maksudnya ya, biar dia ribet di pernikahan dulu, lalu nanti nggak ada beban lagi waktu buat skripsi." Itu sudah pasti suara Bunda.

"Aku sih, terserah kamu aja, Nit. Kalau mau minggu depan, boleh. Mungkin selama ini Inez sering pingsan karena banyak pikiran mengenai pernikahannya, jadi dia stres sendiri. Kalau semua sudah rampung kan, dia dan Rama udah tinggal santai. Tinggal bikin cucu buat kita," ujar Mama sambil tertawa. Bunda juga ikut tertawa.

Nikah? Cucu? Tanpa sadar, aku mendorong pintu dapur dan masuk. Bunda dan Mama kaget karena kedatanganku.

Aku memasang tampang innocentku, mengambil gelas dan mengisi air didalamnya.

"Buat Inez, dia haus," jelasku ketika melihat ekspresi bingung mereka. Sesudah itu aku mengambil cemilan di kulkas, lalu bergegas meninggalkan dapur.

Inez nggak boleh tahu dulu soal ini.





Author's POV

Rama memasukki kamarnya dengan langkah gontai. Didalam pikirannya masih terngiang jelas ucapan Bunda dan Mama.

Inez menatap kedatangan Rama. "Lama banget," katanya.

"Emang gue terbang," ujar Rama ketus. "Nih, minum dulu. Terus ini ada makanan, makan aja. Lumayan buat isi-isi perut."

Sementara Inez makan, pikiran Rama kembali ke kejadian tadi. Dia tidak bisa berhenti memikirkannya. Inez, yang melihat Rama bengong, menyenggol bahunya.

"Kenapa Ram? Kesambet?" Tanyanya yang sukses mendapat tatapan tajam dari Rama.

"Bunda sama Mama majuin tanggal pernikahan kita jadi minggu depan." Bego. Rama bego. Segala keceplosan.

Inez hanya menatapnya kosong, lalu melanjukan makan.

"Lo nggak freak out? Atau pingsan lagi kayak tadi?" Inez menggeleng. Dia menaruh makanannya diatas meja.

"Gue udah kebal. Terserah mereka sekarang mau ngapain. Mau nikah besok juga gue bodo amat. Toh, pernikahan ini nggak ada dasar 'cinta'nya sama sekali. Buat apa gue peduli?"

Ucapan Inez menyadarkan Rama.

Ya, buat apa gue peduli? Toh menolak-pun nggak bisa. Mungkin ini udah jalan yang Tuhan kasih... Rama menatap Inez yang tersenyum hambar.

Coba gue bisa se-cuek lo, Ram..

Forced WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang