Chapter 8 -- First Night

92.6K 3.3K 8
                                    

Inez's POV

Aku memasukki rumah baru kami-rumahku dan Rama, hadiah dari Papa, Mama, Ayah, dan Bunda. Rumahnya lumayan besar.

Lokasinya di daerah Menteng, pilihan Mama dan Bunda. Selain karena tidak jauh dari kampus, letaknya juga strategis. Strategis disini bisa diartikan 'dekat dengan rumah orang tua kami'. Selain itu, sepupuku Nata juga tinggal dekat sini. Paling tidak aku bisa sedikit senang karena ada teman.

"Siapa duluan yang mandi?" Sebuah suara berat terdengar dibelakangku. Rama sudah melepas jas yang tadi dipakainya. Saat ini, kami sedang berada didalam kamar. Yak.

Kamar.

"E-eh... Lo duluan aja, gue belakangan." Dia hanya menatapku, tatapan matanya masih tajam seperti sebelumnya.

Lalu tanpa kata-kata, dia masuk kedalam kamar mandi.

Aku terduduk di sofa. Tanpa sadar, aku mengela napas panjang. Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.

Aku menikah. Seorang Inez menikah. Dijodohin pula. Dengan orang yang baru dikenal pula.

Kepalaku pusing. Ikatan rambut dan mahkota bunga yang ku kenakan seakan melilit kepalaku. Dengan pelan, aku melepas mahkota itu dan meletakkannya di meja. Setelah itu, aku melepas jepit di rambut, dan membiarkan rambutku terurai ke bahu.

Aku menyenderkan kepala ke punggung sofa. Itu adalah hal terakhir yang ku ingat sebelum kesadaranku hilang.



Rama's POV

Aku melangkah keluar kamar mandi ketika mendengar suara dengkuran halus di sofa kamar.

Gadis itu-sebenarnya aku masih tidak terbiasa memanggil namanya, well that's me, never get used to calling people's name-tertidur pulas disofa, dengan masih memakai gaunnya.

Tiba-tiba aku teringat ucapan Kak Allya tadi saat kami berpapasan.

"Coba deh, kamu elus kepala Inez waktu dia tidur."

Setelah itu, dia hanya tersenyum jahil lalu pergi.

Penasaran, aku duduk di sebelahnya. Dia tidak bergeming, tetap tertidur dengan posisi duduk. Lalu, aku menjulurkan tangan ke puncak kepalanya, dan dengan pelan mengelusnya. Rambut coklat itu terasa halus ditanganku.

Sebuah tangan mendarat diatas dadaku. Tangan Inez. Posisinya sudah berubah, kali ini dia menghadapku.

Aku menatap wajahnya. Sebuah niat iseng sudah melintas dikepalaku, dan aku yakin dia pasti akan panik.

Perlahan, aku mendekatkan wajahku kehadapannya. Lalu dengan agak keras, kutiup mukanya. Dia mengerang, membuatku tertawa.

Inez membuka matanya.

"Resek ah!"

"Berisik," ujarku. Aku bangkit dari sofa, lalu berjalan ke sisi tempat tidur. "Mandi sana, bau."

"Iya, bawel." Setelah berkata begitu, dia masuk kekamar mandi. Sementara aku diluar mencoba menahan tawa.

Aku hampir memejamkan mataku, saat aku merasakan seseorang menaikki tempat tidur. Seseorang itu, tidak lain dan tidak bukan, tentu saja Inez. Sepertinya begitu menyentuh bantal, dia langsung tertidur pulas.

Niat iseng kembali menghampiri pikiranku.



Inez merasakan hangat pada perutnya. Seperti dipeluk oleh seseorang.

Dia melihat perutnya dan mendapati sebuah tangan memeluknya. Jangan-jangan...

"Morning, Inez," ujar Rama. Suaranya serak karena baru bangun. Dia berbisik di telinga Inez. "Semalam tidur nyenyak?"

Sontak, Inez menyingkirkan tangan itu dan melompat berdiri dari kasur. Dia menatap Rama dengan horor.

"Lo ngapain peluk-peluk gue?"

Rama menatapnya dengan sinis. "Lo lupa semalam kita ngapain? Padahal semalam lo semangat banget, sampai capek gue."

Inez masih menatap Rama dengan horor. "Emang semalam kita ngapain....?"

"Menurut lo?" Rama menatapnya dengan satu alis terangkat.

"Serius ah!"

"Menurut lo, apa yang seharusnya dilakukan sepasang suami-istri setelah mereka menikah?" Tanya Rama. Dia turun dari kasur dan berjalan mendekati Inez. Tatapan matanya tajam, entah kenapa membuat Jantung Inez berdebar cepat.

Rama terus mendekat, membuat Inez mundur untuk menjaga jarak. Tapi hal itu tidak terjadi lama karena punggungnya menabrak pintu.

"Lo...mau ngapain?" Inez menunduk, tidak berani menatap Rama. Sementara, dalam hatinya Rama tertawa keras melihat gadis didepannya ini. Hanya saja, dia menjaga ekspresinya tetap datar, sesuatu yang tidak sulit untuk dia lakukan.

Rama mendekatkan mulutnya ke telinga Inez, membuat Inez semakin menunduk. "Minggir, gue mau keluar."

Inez mendongak pelan, lalu bergeser dari depan pintu, memberi jalan agar Rama segera keluar.

Setelah cowok itu pergi, Inez menarik napas panjang. Dia masih mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi semalam.

"Woy sarapan dulu!" Teriak Rama dari dapur. Inez melonjak kaget, lalu segera keluar sebelum dia membuat cowok itu kesal.



Inez's POV

"Rama..." Pria dihadapanku mendongak. Tatapannya terlihat tidak suka.

"Kalau lo mau nanya yang nggak penting, mendingan kapan-kapan aja. Besok gue ada kuis, sedangkan gue belum belajar apa-apa karena acara kemarin," ujarnya dingin. Setelah itu, dia kembali menekuni buku yang sedang dibacanya.

"Gue cuma mau tanya... Semalam itu sebenarnya ada apa? Emang kita ngapain?"

Rama mendongak lagi, kali ini wajahnya terlihat semakin kesal.

"Lo beneran mau tahu, semalam kita ngapain?" Tanyanya. Aku mengangguk. Lalu dia mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Semalam...kita tidur. Puas?" Ujarnya, lalu posisinya berubah seperti semula.

Aku menatapnya tidak percaya.

"Beneran?"

"Hmm."

"Lo nggak bo-"

"Inez." Rama menatapku tajam, membuatku hanya bisa menunduk. "Lihat gue kalau gue lagi ngomong, Nez," ujarnya lagi.

Aku memberanikan diri melihatnya.

"Semalam kita cuma tidur. Jelas?" Ujar Rama. Dia menekankan setiap kata. "Sekali lagi lo tanya, bikin sarapan sendiri," ancamnya.

Aku mengangguk keras, dan setelah itu tidak berani bertanya lagi. Ya iyalah, perjanjiannya kan dia bikin sarapan, gue bikin makan malam. Kalau dia nggak bikin sarapan, nggak adil dong!

*
I know I know. Pendek, aneh, nggak mutu. Lagi nggak ada ide...

Still hoping you enjoy!

-np

Forced WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang