"Go, kalung petenya jangan ketinggalan loh," ujar Inez kepada Diego, anak pertamanya. Diego yang sudah berumur 16 tahun akan masuk ke SMA, dan dia sedang menjalani MOS.
"Bun, Igo kan nggak pakai kalung pete. Itu Davira," ujarnya sambil menunjuk adik perempuannya, Davira, yang juga akan menjalani MOS untuk masuk SMP.
"Idih Bun, Davi nggak mau pakai itu, kan bau," rengek Davira. Rama tersenyum sambil mengelus kepala anak perempuannya itu.
"Bau-bau tetap cantik kok," ujar Rama.
"Ih, cantik apanya, sekali pakai pete ya bau pete, nggak ada cantiknya," ledek Igo. Tangannya menarik salah satu kunciran Davira.
"Kakak rese ih," gerutunya.
"Eh, udah jangan berantem terus. Sana berangkat. Go, adiknya diantar dulu ya," ujar Inez sambil mencium kening Diego, lalu Davira.
"Oke, Bun," ujar Diego. "Ayo, Dav. Nanti telat."
Davira mengangguk, lalu melambaikan tangan kepada kedua orang tuanya dan memasukki mobil.
Setelah mobil mereka jalan, Rama menaruh tangannya di pinggang Inez.
"Hmm... Anak-anak udah pada pergi, Nez," ujar Rama sambil menaik-turunkan alisnya.
"Terus kenapa ya?" Inez menatap Rama curiga.
"Nggak berniat bikin adik buat mereka?"
Inez memukul lengan Rama. "No, dua anak lebih baik," ujarnya sambil tertawa.
"Hahaha. Iya deh, apa katamu aja," ujar Rama sambil menuntun Inez memasukki ruang tamu.
Rama menarik dagu istrinya, lalu melumat bibir itu dengan lembut. Inez membalas lumatan itu. Mereka berdua saling mengecup satu sama lain agak lama, sampai Rama menjauhkan kepalanya.
"Ugh, I need to stop, bisa keterusan nanti," gerutu Rama. Inez tertawa geli mendengarnya. Dielusnya pipi Rama dengan lembut.
"Udah, sana ganti baju, kamu kan kerja," ujar Inez. Dia sendiri sudah memakai setelan kantornya. Saat ini, Inez bekerja di Kementrian Luar Negeri, berbeda dengan Rama yang bekerja sebagai pengacara.
"Oke. Kamu mau bareng?"
"Hmm. Boleh. Nanti makan siang bareng juga ya," ujar Inez. Rama mengangguk.
Setelah Rama pergi ke kamar, Inez menempatkan dirinya di kursi ruang tamu. Dia menatap dinding disekitar televisi, yang sekarang dipenuhi oleh foto-foto. Ada foto pre-wedding, foto Inez sendiri, foto Rama sendiri, foto satu keluarga mereka, lalu foto Diego dan Davira.
Tanpa sadar, air mata jatuh dipipi Inez. Dia menghapusnya dengan pelan, agar tidak merusak make up. Dalam hati, dia terus mengucap syukur pada Yang Kuasa.
Makasih Tuhan, buat semuanya. Buat suami yang baik dan penuh kasih sayang, kedua anak yang penurut dan saling menyayangi. Terimakasih untuk keluarga yang harmonis ini. Semoga, Engkau selalu melindungi kami, menjadikan kami keluarga yang saling menyayangi satu sama lain, sekarang dan sampai selama-lamanya.
-END-
*
Akhirnya, selesai juga... Lega gitu rasanya :)
Sekali lagi, makasih banyak buat yang udah menyempatkan diri untuk baca, vote, dan comment di cerita ini. I really appreciate your kindness :)
Saya sadar banget dalam menulis ini masih banyak kekurangan, ada yang bolong-bolong, nggak seru, bahkan kata-kata yang kasar, saya minta maaf. Maklum, there's no perfect human, right?
Untuk selanjutnya, saya cuma bisa ngepost cerita yang nggak bersambung tentang keseharian mereka aja, oneshoot gitulah intinya. Jadi buat yang mau baca, silakan dibaca :)
Oh ya hampir lupa, untuk cerita tentang Revan, silakan dibaca Foirfe ;)
Thank you!
-np
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Wedding
RomanceInez Mahestari tidak suka dijodohkan! Baginya, pernikahan itu seharusnya atas dasar sama-sama suka, sama-sama cinta. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena ternyata orang tuanya sudah mempersiapkan semuanya! ∞ Ramakrisna Handaru hanya bisa...