Rama's POV
Semenjak pulang jalan-jalan tiga hari yang lalu, tingkah Inez jadi aneh. Jujur saja, aku tidak berani bertanya apa-apa.
Call me coward, tapi aku memang agak takut dengan Inez. Apalagi emosinya yang sering meledak-ledak. Ya, seharusnya aku maklum. Dia baru umur 19 tahun. Masih remaja. Dan dia sudah memikul tanggung jawab sebagai istri.
Tapi tetap saja, aku penasaran.
Aku sudah menghubungi Arina, Sophia dan Vian (yang anehnya, cowok itu sedang bersama Sophia). Hasilnya sama saja, tidak ada yang tahu Inez kenapa.
Rasa penasaranku semakin bertambah ketika sejak dua hari yang lalu, Inez semakin sering ke rumah Nata, sepupunya. Padahal meskipun mereka dekat—maksudnya, hubungan sepupu dan letak rumah—tapi Inez jarang sekali ke rumah Nata.
Tapi sekarang, dua hari berturut-turut. Dari siang sampai malam.
"Inez," panggilku ketika melihat Inez berjalan ke pintu keluar. Yap, ke rumah Nata lagi.
"Iya?" Inez menoleh tanpa menghampiriku. Aku menepuk sofa disebelahku, mengajaknya duduk.
"Tapi Ram—"
"Sebentar, please," ujarku. Target hari ini, bagaimanapun caranya membuat Inez cerita.
"Kamu kenapa sih?" Tanyaku segera setelah dia duduk. Inez hanya menunduk. Aku memegang dagunya, mengarahkannya agar menoleh. "Cerita, Nez."
Aku bisa membaca keraguan dimatanya. Aku tahu dia menyimpan sesuatu, tapi dia enggan bercerita.
"Kita udah janji untuk selalu terbuka kan? Untuk sama-sama mencoba? Tell me, Nez. Aku janji, aku nggak akan marah," ujarku meyakinkan.
Inez membuka mulutnya tanpa mengatakan apa-apa. Aku memajukan kepalaku, lalu mengecup bibirnya lembut.
Tidak lama, aku menjauhkan jarak wajah kami. "Kamu tahu kan, aku sayang kamu? Apapun yang terjadi, apapun yang kamu akan bicarakan, mau kamu marah-marah juga, tapi kamu tetap tahu kan, kalau aku sayang sama kamu?"
Inez mengangguk.
"Jadi..."
"Ve bilang, kalau dia punya anak," ujar Inez, membuatku mengerutkan kening. "Sama kamu," lanjutnya.
Aku tertegun sebentar, mencoba mencerna apa yang dikatakan Inez.
"Tunggu-tunggu. Step by step. Kapan kamu ketemu Ve? Lalu dia bilang apa aja ke kamu?" Tanyaku.
"Tiga hari yang lalu, waktu aku pergi sama Arina, Sophia dan Vian. Dia ngajak aku ngobrol, lalu bilang kalau aku harus ceraiin kamu karena kamu itu ayah dari anaknya dia," ujar Inez lirih.
Kata-kata itu sukses membuatku bengong. Sejak kapan—
"Nez, satu yang perlu—HARUS—kamu tahu. Aku dan Ve sama sekali nggak pernah berbuat itu. Nggak tahu kalau dia berbuat itu sama pacarnya disana. Tapi aku, Nez," aku menghela napas singkat sebelum melanjutkan.
"Aku nggak akan pernah berbuat seperti itu ke orang yang bukan istriku. Dosa," lanjutku.
Inez mengusap wajahnya dengan dua tangan. "Aku tahu, aku tahu kamu nggak akan berbuat seperti itu," ujarnya.
"Aku merasa kayak orang bodoh banget, Ram. Udah kesekian kali aku dibodohin sama Ve, dan aku hampir percaya juga. Ya Tuhan..."
Melihat Inez kalut seperti itu, aku langsung merengkuhnya kedalam pelukanku. Aku merasakan bajuku basah, sepertinya dia menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Wedding
RomanceInez Mahestari tidak suka dijodohkan! Baginya, pernikahan itu seharusnya atas dasar sama-sama suka, sama-sama cinta. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena ternyata orang tuanya sudah mempersiapkan semuanya! ∞ Ramakrisna Handaru hanya bisa...