Dara terkejut ketika menyadari kalau dirinya sewaktu masih berusia 17 tahun terdengar begitu menyebalkan. Dulu, ketika masih menjalani usia itu, ia merasa tingkah lakunya terlihat normal dan sopan. Tapi sekarang, ketika menyadari seorang bocah berumur 17 tahun mengatakan 'aku tidak ingin pecundang sepertimu membaca suratku ini' untuk dirinya sendiri sepuluh tahun kemudian, membuat gadis itu mulai mempertanyakan sopan santunnya sendiri di masa lalu.
Bicara soal usia, Dara telah melewatkan ulang tahunnya yang keduapuluh delapan dua bulan lalu. Bangunan gedung sekolah yang sudah tua dan mengalami beberapa perbaikan serius membuat acara reuni ini diundur setahun lamanya, dan sialnya, dirinya yang berusia 17 tahun telah mengecamnya sebagai pecundang karena berani datang ke acara reuni ini tanpa seorang suami.
Sebenarnya Dara tidak merasa seperti seorang pecundang karena belum menikah di usianya yang hampir menginjak kepala tiga. Sebaliknya gadis itu bangga pada dirinya sendiri, karena merasa kalau ia adalah wanita yang muda dan mandiri. Di usianya sekarang, Dara memiliki penghasilan 7 digit yang setidaknya dimulai dengan angka 8 per bulan. Dara meraup pendapatan itu dari hasil usaha laundry yang sudah ditekuninya sejak berusia 24 tahun, dan sedang mempersiapkan modal untuk membuka cabang usaha yang sama di tempat lain. Pendapatannya itu membuat Dara memberanikan diri untuk mencicil sebuah rumah atas namanya sendiri. Jangan lupakan seabrek-abrek pakaian yang dibelinya tanpa harus menengadahkan tangan pada orangtua. Lemari berisi deretan make up di samping meja rias juga telah menunjukkan kalau Dara bisa mendapatkan setiap keinginannya tanpa sokongan finansial seorang suami.
Banyak yang menduga kalau Dara mengalami trauma dalam menjalani hubungan, tapi Dara selalu menyanggahnya. Gadis itu memang sempat menjadi korban perselingkuhan setelah menjalin hubungan selama empat tahun dengan pria yang dituliskannya di dalam surat ketika masih berusia 17 tahun, tapi bagaimana mungkin Dara bisa trauma setelah menampar pria itu dengan menggunakan sepatunya? Dara bahkan sempat menjambak selingkuhan mantan kekasihnya, yang ternyata adalah temannya sendiri, kemudian menyeretnya ke dalam kamar mandi. Dara masih ingat bagaimana gadis itu menjerit-jerit karena Dara yang kesetanan menyiramnya dengan berember-ember air. Setelah semua pembalasan yang brutal itu, Dara tidak berhak untuk trauma. Kalau ada orang yang pantas merasa takut untuk menjalani hubungan apalagi menjadi selingkuhan, pastilah kedua orang itu yang merasakannya.
Pengalaman diduakan tidak membuat Dara berpikir kalau semua hubungan akan kandas karena perselingkuhan. Hubungan harmonis kedua orangtuanya telah menjelaskan kalau masih ada cinta dan kesetiaan di dunia ini. Jangan lupakan kedua saudara laki-lakinya yang memanjakan istri mereka masing-masing. Satu-satunya alasan kenapa Dara belum menikah adalah karena ia tidak menemukan alasan untuk menikah. Gadis itu tidak tertarik memikirkan seseorang ikut campur dalam setiap keputusan hidupnya, dan menolak hidup hanya untuk meneruskan garis keturunan keluarga, karena demi Tuhan, memangnya siapa yang peduli kalau garis keturunan keluarga terputus di tangannya?
Sayangnya sang Ibu tidak sependapat dengannya, karena wanita paruh baya itu justru bersusah hati melihat Dara yang terlalu menikmati hidupnya sebagai seorang lajang. Rencana pernikahan anak tetangga mereka yang usianya lebih muda daripada Dara, membuat wanita paruh baya itu semakin getol mendesak Dara menikah dengan pertanyaan, "Memangnya kamu nggak sedih karena anak bungsu Bu Rika menikah lebih dulu daripada kamu?"
Yang benar saja! Orang sinting mana yang akan sedih karena tetangganya menikah lebih dulu? Sayangnya sang Ibu tidak menghargai cara berpikirnya dan justru semakin mendesaknya, yang kemudian membuat keduanya terlibat dalam adu pendapat yang membuat Dara tersinggung.
"Ya udah, gini aja!" Seru Dara waktu itu, "Teman arisan Mama kan banyak. Umumkan aja ke mereka kalau anak perempuan Mama nggak berguna karena belum menikah, padahal masa berlakunya udah hampir habis. Calon perawan tua! Siapa tahu mereka cukup sial karena punya anak yang sama nggak bergunanya dengan Dara."
Semua orang terdiam mendengar kalimat Dara, namun gadis itu sudah tidak peduli dan melanjutkan kemarahannya, "Itu kan keinginan Mama? Punya anak yang bisa menikah, melahirkan, kemudian haha hihi dengan Ibu-ibu lainnya? Selama Dara belum menikah maka Dara akan jadi anak gagal di mata Mama!"
"Mama cuma pengin kamu bahagia," Ibunya berusaha membela diri.
"Memangnya Dara terlihat nggak bahagia?" Balas gadis itu telak, "Apa yang membuat Mama berpikir kalau Dara nggak bahagia cuma karena belum menikah? Memangnya Dara pernah bikin status kayak anak-anak alay yang pengin mati karena masih jomblo di umurnya yang kedelapan belas tahun?"
"Kamu tahu kalau bukan itu maksud dari ucapan Mama tadi."
"Dara nggak tahu!"
"Mama cuma ingin kamu merasakan kebahagiaan pernikahan seperti kedua Mas kamu. Mungkin buat kamu ucapan Mama terdengar seperti omong kosong, tapi itu karena kamu belum pernah merasakan kehidupan pernikahan."
"Nah itu Mama tahu!" Balas Dara dengan nada ngotot yang sama, "Mama tahu kalau Dara belum pernah merasakan kehidupan pernikahan dan belum tentu menikmatinya. Berbeda dengan Dara yang belum pernah merasakan kehidupan pernikahan, Mama udah pernah merasakan bebasnya jadi seorang lajang dan Mama tahu kalau Dara menikmatinya, jadi kenapa Mama nggak bahagia aja karena Dara bahagia?"
"Udah Adara Darra," Sang kepala keluarga bersabda setelah sedari tadi diam mendengarkan perdebatan istri dan anaknya, "Nggak usah diteruskan lagi."
"Papa juga tahu kalau bukan Dara duluan yang nyari masalah!"
Pria paruh baya itu mengabaikan protes anaknya dan menoleh pada sang istri, "Mama juga udah. Hanya sekali dalam dua minggu kita berkumpul kayak gini, kenapa jadi bertengkar? Kalau Dara belum siap untuk menikah, nggak usah dipaksa. Papa lebih suka Dara fokus pada usahanya dan bahagia dengan pencapaiannya, daripada dipaksa menikah kemudian menelantarkan anak dan suaminya."
"Bela aja terus!" Sembur sang Ibu, "Itu kenapa Dara keras kepala seperti sekarang, karena Papa selalu belain dia."
"Mama nggak sayang sama Dara!" Balas Dara sambil menyambar tasnya dan beranjak berdiri, "Mama tahu kenapa Papa perhatian sama Dara? Mungkin karena Papa sadar kalau Mama nggak pernah peduli sama perasaan Dara!"
Tidak ada yang tidak terperangah mendengar tuduhan Dara ketika itu, tapi gadis itu tidak peduli dan langsung berlalu. Acara-acara keluarga berikutnya ia lewatkan karena enggan bertemu dengan sang Ibu. Telepon Mas Andra yang mengatakan kalau anaknya merindukan Dara, tidak membuat gadis itu luluh dan menemui keponakannya. Ia benar-benar marah dan kecewa pada Ibunya.
Sampai beberapa menit tadi Dara masih yakin kalau tindakannya sudah benar. Tidak ada orang yang berhak mengatur apalagi mendesaknya untuk menikah, bahkan Ibunya sekalipun. Tapi setelah membaca surat yang dituliskannya sebelas tahun yang lalu, Dara mulai bertanya-tanya, apakah sikapnya sudah keterlaluan pada sang Ibu? Apakah ia durhaka? Apakah di usianya yang sudah lebih dari dua puluh delapan tahun ini, memang sudah sepatutnya untuk ia berumah tangga?
*
JJ.
KAMU SEDANG MEMBACA
28+ (Slow Update)
Chick-LitNama : Adara Darra Kelas : XII IPS3 M.P : Bimbingan Konseling. Tulislah sebuah surat berisikan lima kriteria pasangan hidup (suami/istri) untuk diri kamu sendiri di masa depan! Kepada diri saya sendiri di masa depan, Menurut Ibu Susan, kamu akan me...