Aku menguap, mungkin untuk yang kesebelas kalinya dalam satu jam terakhir. Untungnya jam kerja telah berakhir dan kini aku tengah bersiap-siap meninggalkan restoran McDonald's tempat aku bekerja. Seperti biasa, aku pulang bersama Louis, rekan kerjaku selama beberapa tahun belakangan. Dia menungguku sambil tersenyum di pintu belakang.
"Kalian selalu pulang berdua," ujar Edward, rekan kerjaku yang lain, saat mengunci pintu belakang, "kenapa tak berpacaran saja sih?"
Aku dan Louis bertatapan, seperti berusaha mentransfer isi hati masing-masing. Kami tidak menggubris ucapan Edward, hanya berlalu menuju halte bus terdekat seperti biasa. Malam itu nyaris tidak ada siapa pun di jalan selain kami. Di sudut kota ini, memang jarang sekali keramaian tercetus.
Bus terakhir datang dan berhenti di depan kami. Louis membiarkanku naik lebih dulu. Ah, selalu saja sesopan itu. Lalu aku memilih kursi di dekat jendela di bagian paling tengah, sementara Louis memilih duduk di sebelahku walau banyak sekali kursi lain yang kosong di bus.
"Bagaimana kondisi Cinnamon?" tanya Louis membuka percakapan. Bus mulai melaju meninggalkan halte yang tersiram cahaya jingga lampu jalanan.
Cinnamon adalah adik perempuanku. Usianya baru enam belas tahun saat dokter memvonisnya mengidap kanker. Selama satu tahun terakhir, gadis manis itu berjuang melawan sakit, walau harus kehilangan kesempatan belajar di sekolah dan waktu bermain bersama teman-temannya.
Ya Tuhan, mengingat Cinnamon membuat dadaku nyeri. Bila aku menjadi dirinya, aku tak akan sanggup, sungguh. Apalagi ibuku dan aku harus mati-matian mengusahakan biaya pengobatan yang tidak murah. Hebatnya, dia tidak pernah mengeluh. Kurasa Tuhan memang menganugerahkan sekarung kesabaran tambahan bagi orang-orang yang hidupnya tetap dipenuhi perjuangan walau tengah menderita.
"Dia baik-baik saja pagi tadi," jawabku. "Jenguklah ia kapan-kapan. Dia senang bermain Monopoly bersamamu."
Bibir Louis menyunggingkan senyum. "Ah, aku memang pernah berjanji untuk bermain Monopoly lagi bersamanya," ujar pria jangkung itu. "Kurasa aku akan datang saat Thanksgiving nanti, tidak apa-apa kan?"
Aku mengangguk. "Tentu, kenapa tidak?"
Sepasang mata biru Louis melirikku sekilas. Senyumnya perlahan memudar. "Aku harap adikmu cepat sembuh, Sweet Mileva," ujarnya. "Aku bisa merasakan betapa sulitnya kondisi keluargamu saat ini."
Aku hanya tersenyum, tak mampu menggerakkan bibir bahkan untuk sekadar berkata terima kasih. Sejujurnya aku tak suka dikasihani, namun aku tahu Louis mengatakannya bukan untuk mengasihaniku, melainkan untuk menyumbangkan semangat.
Lama kemudian, bus berhenti di sebuah halte. Letaknya hanya beberapa puluh meter dari apartemen yang kusewa bersama ibu dan adikku. Louis juga ikut saat aku keluar dari bus itu, sebab apartemen yang ia tinggali bersama sahabatnya memang tak jauh dari tempat tinggalku. Kami berjalan kaki lagi bersisian, sesekali bergidik disapa udara dingin.
Louis mengantarku hingga ke depan pintu masuk gedung apartemen. Kedua tangannya tersembunyi di dalam jaket merah tua yang ia kenakan. Aku berdiri di salah satu anak tangga, menghadapnya, tertawa saat berhasil menyamai tinggi badannya yang mungkin nyaris mencapai dua meter.
"Terima kasih, Louis. Sampai ketemu lagi besok," kataku. Aku tersenyum dan berbalik, namun tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram lenganku, mencegahku berbalik.
"Bisakah aku berbicara padamu mengenai sesuatu?"
Tatapan Louis agak lain dari biasanya. Tatapan itu penuh harap. Aku hanya diam, menantinya dengan tatapan pula. Ia melepaskan lenganku, menatap ujung sepatunya dengan agak malu-malu. "Apakah salah bila aku punya perasaan padamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...