[12] Membaca Nils

3.2K 359 33
                                    


Kopiku bahkan belum habis saat tak sengaja kulihat Nicki berjalan keluar dari pintu kelab. Namun tanpa Jim dan Nils. Dia sempat berhenti dan menoleh ke sana kemari. Tampaknya dia mencariku.

Melalui kaca jendela, aku melambai-lambaikan tangan. Usahaku berhasil menarik perhatian Nicki. Dia setengah berlari menyeberangi jalan, masuk ke diner dan duduk di hadapanku.

"Di sini kau rupanya," kata perempuan bertubuh seksi itu. Dia mengibaskan rambutnya yang panjang dan terawat.

"Ada apa?" tanyaku, mendekatkan bibir ke cangkir kopi.

"Tak apa," ujar Nicki. "Mr. Rondhuis menyuruhku menemanimu."

Aku tersedak.

"Easy." Nicki terkekeh. "Dia selalu seperti itu."

"Seperti apa?"

Nicki menyampaikan pesanan pada seorang pelayan, lalu melipat kedua lengannya di meja. "Diam-diam peduli," jawabnya. "Bos sebenarnya punya hati yang baik."

Aku merunduk sedikit sambil mengusap bibir dengan tisu. "Nicki, kau tidak perlu menemaniku. Kembalilah bersenang-senang, aku baik-baik saja."

"Sebenarnya," kata Nicki, "Mr. Rondhuis dan Mr. Aasgier datang ke kelab itu bukan untuk bersenang-senang."

"Lalu? Tunggu." Aku memelankan suaraku. "Mereka akan meledakkan kelab itu?"

Nicki tertawa. "Tentu saja tidak," jawabnya. "Mereka sedang mengadakan pertemuan dengan 'rekan-rekan seperjuangan' yang belum dilibas oleh Sindikat Snake. Mungkin mereka juga akan mendirikan sebuah sindikat untuk melakukan perlawanan."

Aku mengangguk kecil. "Omong-omong, Nicki, apakah kau tidak berniat untuk berhenti dari pekerjaan ini?"

"Berhenti?" Alis Nicki yang dilukis sempurna dengan pensil alis terangkat sebelah.

"Yah, kau tahu kan seberapa besar risiko pekerjaanmu ini," kataku. "Kau bisa saja ... terbunuh."

Nicki menghela napas. Senyum di bibirnya melambangkan kelembutan. "Aku tahu itu kok," katanya. "Tapi aku tidak bisa."

"Mengapa?"

"Aku sudah terlalu banyak tahu soal perusahaan itu," jawab Nicki, entah kenapa agak terdengar pasrah. "Lagi pula, kedua bosku itu sudah memperlakukanku seperti sahabat--di luar dari pekerjaan."

"Tapi ... kau punya keluarga, iya kan?"

Nicki mengangguk. "Ya, aku punya."

"Bagaimana bila sesuatu terjadi pada mereka karena pekerjaanmu ini?"

Nicki mengangkat bahu. "Hanya Tuhan yang tahu," jawabnya. "Lagi pula, aku sangat mempercayai Mr. Rondhuis dan Mr. Aasgier. Mereka sudah memastikan bahwa anggota keluargaku terlindungi."

Aku tersenyum. Nicki sungguh asisten yang setia.

Pelayan datang membawakan pesanan Nicki, yakni segelas susu kocok stroberi dan pai apel yang baru keluar dari pemanggang. Ketika Nicki mulai makan, timbul lagi pertanyaan lain di benakku. "Bagaimana kau bisa bekerja di perusahaan itu, Nicki?"

"Sebenarnya agak sama denganmu."

"Maksudmu? Diculik?"

"Ya, aku diculik, tapi tidak dijebak," ujar Nicki. "Waktu itu mereka membutuhkan sekretaris sungguhan dan memasang sebuah iklan di kota ini. Kau mau tahu berapa pelamar yang kukalahkan untuk pekerjaan ini?"

"Berapa?"

"Dua ribu orang."

Hampir aku tersedak lagi.

Dear Mr. RondhuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang