Jim sesungguhnya tidak ingin aku berada di dalam ruangan itu, namun ucapan Nils yang berbunyi, "Mileva terlalu bodoh untuk hal-hal semacam ini," menyelamatkanku dari kesendirian di ruang tunggu.
Selagi Nils, Jim, dan Nicki berbicara, fokusku justru teralihkan pada ruangan itu. Agak jauh dariku, sebuah meja berwarna hitam mengilat diramaikan oleh kehadiran lembar-lembar kertas yang saling tertumpuk dan berserakan. Sofa yang kami duduki saat ini bukan main empuknya, jauh lebih empuk daripada yang Nils miliki di kamar—pantatku sampai tenggelam ke dalam bantalan sofa ini. Di balik meja kerja Nils, jendela-jendela kaca menampilkan langit kelabu berbalur awan hitam, menyembunyikan wajah sang surya. Aroma sitrun menguar di udara.
"Kau dengar, Mileva?"
"Huh?" Aku menoleh ke arah Nicki yang menyentuh lututku pelan. "Apa? Kalian bilang apa?"
"See? I told you, Jim. Dia bahkan tidak mendengarkan," ucap Nils. "Gelandangan seperti ia hanya sibuk memikirkan berapa harga-harga perabotan di ruangan ini."
Aku menatap Nils tak percaya. Sikapnya sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat. Aku mulai khawatir Nils sebenarnya mengalami gangguan psikologis.
Jim menghela napas berat. "Baiklah," ujarnya. "Mungkin kita mulai saja."
Nicki meletakkan beberapa stofmap yang dipeluknya di meja. Ia membukanya satu per satu. Walau tidak disebutkan, melalui foto-foto orang dan tabel yang tercetak di atas kertas-kertas itu, aku tahu itu biodata. Tak ada wajah yang kukenali, kecuali seorang pria berjenggot tipis dengan raut muka pongah, yang kalau tidak salah bernama Drew. Dialah pemilik mansion bernuansa Timur Tengah yang diledakkan oleh pensil Light Years buatan Nils.
"Orang ini." Jim menunjuk foto seorang pria berkaus hitam dan berkacamata, yang potongan rambutnya amat rapi. "Sejak beberapa tahun yang lalu menjadi buronan karena telah menjarah para pedagang senjata seperti kita, Nils."
Alis Nils bertaut. "Snake?"
"Ya, Bos. Itu nama panggilannya," kata Nicki. "Pergerakannya sangat gesit. Dia berencana menguasai pasar perdagangan senjata di negara ini, sehingga ia mendirikan sebuah sindikat yang bergerak dalam bidang yang sama."
"The Chainsmokers adalah salah satunya," timpal Jim. "Drew dan Alex bergabung dengan sindikat itu dan berencana mengambil alih perusahaan kita."
"Shit." Nils geram. Kedua tangannya mengepal.
"Beberapa bulan terakhir, pergerakannya semakin lincah dan mengkhawatirkan," kata Jim. Dia mengamati beberapa berkas di meja sambil mengusap dagu. "Kau lihat mereka? Riwayat mereka sudah tamat. Galantis, DVBBS, Showtek, Dillon Francis, Avicii, Calvin Harris, dan masih banyak lagi. Senjata mereka telah dijarah dan kini kehidupan mereka hanya tinggal sejarah."
Nils membaca salah satu berkas di tangannya. Matanya terbelalak ngeri. "Marshmello juga...," gumamnya.
"Perusahaan kita sedang dalam bahaya, Bos," ujar Nicki. "Sindikat Snake, yang saat ini terdiri dari perusahaan senjata Major Lazer, Skrillex, dan semua yang ada di daftar yang telah kuberikan pada Anda, mengincar para pedagang senjata yang tersisa."
Nils masih membaca barisan huruf di kertas. Bibirnya terkatup rapat.
"Kita harus mengambil tindakan, Nils," ujar Jim. Dia membenarkan posisi duduk. "Kita tidak bisa tinggal diam. Cepat atau lambat mereka pasti akan mengincar kita."
Nils meletakkan berkas kembali ke meja dan menatap Jim. Tak bisa ditebak apa yang ia rasakan, sebab raut wajahnya menampilkan kebosanan. "Mengambil tindakan? Menyerang mereka lebih dulu, begitu?" kata Nils sinis. "Kita seorang diri melawan Sindikat Snake? Menurutmu itu kedengaran masuk akal? Itu sama saja menyerahkan nyawa secara cuma-cuma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...