"Maafkan aku," ujarku memelas di sebelah kasur Nils. Pria itu menutupi wajah dengan bantal, enggan menatapku.
"Kau mengerikan. Bengis, brutal, keji, dan vandal dalam bentuk perempuan manis." Suaranya yang redam di balik bantal terdengar berbalut amarah.
"Mana kutahu kalau aku menginjak ... apa pun yang ada di antara selangkanganmu itu," kataku.
"Pergilah sebelum aku membalasmu dengan tindakan yang sama," katanya. "Mati saja di sofa itu."
"Sungguh, aku minta maaf." Aku memegang bahunya yang langsung ditepis kasar. "Apa itu benar-benar sakit?"
"Menurutmu?" katanya, menekankan. "Kau mengerti prinsip Hukum Newton 3 tidak sih? Dalam sebuah aksi yang dikeluarkan akan timbul reaksi yang sebanding. Pikirkan saja seberapa besar aksi kakimu, maka kau akan tahu seberapa besar reaksi yang kurasakan."
Aku berusaha keras untuk tidak tertawa. Dalam keadaan marah pun dia masih bisa memberiku jawaban ilmiah. Untungnya dia tidak melihat wajahku yang berusaha menyembunyikan senyum.
"Jadi apa yang harus kulakukan? Aku kan tidak mungkin mengobatimu," kataku.
"Pergi saja, sebelum kau menyakitiku lagi." Tangannya mengibas-ngibas ke depan tanpa arah, bermaksud mengenyahkanku.
Aku menghela napas. "Baiklah. Aku harap aku tidak merusak apa pun. Apalagi sampai membuatmu cacat permanen."
Ia tidak menjawab. Aku berjalan meninggalkannya, memadamkan lampu, lalu menyembunyikan diri di balik selimut. Kutarik napas pendek saat punggungku kembali bercengkerama dengan sofa sekeras batu yang sudah menjadi kasurku selama berada di sini. Nils berbaring memunggungiku di kasur. Kaus hitamnya agak kusut.
Kantuk tak langsung menyerap kesadaranku malam itu. Aku berbaring dengan mata terpejam cukup lama, menghadap langit-langit. Dalam keheningan yang mengudara di ruangan itu, benakku samar-samar memunculkan ingatan saat berada di restoran McDonald's tadi. Nils dengan Big Mac-nya yang tidak enak dan McFlurry M & M's warna merah, mengenakan jaket jins yang agak kebesaran, duduk di depanku sambil tersenyum kecil. Lalu kata-katanya yang berbunyi, "That's beautiful. Cerita kalian. Aku senang mendengarnya," yang terngiang pula, sekonyong-konyong membuat dadaku berdebar. Mungkin karena Nils lebih sering bersikap kaku dan kasar, sehingga sekalinya ia bersikap lembut, rasanya begitu membekas dan menyejukkan hatiku.
Barangkali Nils memang orang yang halus dan peka. Tetapi sayangnya sifat itu terkalahkan oleh kenangan pahit di masa lalu, yang membuatnya kaku dan terkesan menarik diri dari orang lain. Seandainya Nils mampu mengenyampingkan hal itu, hidupnya pasti akan lebih baik. Bahkan sebenarnya hidupnya sudah baik. Dia dikelilingi dengan asisten-asisten setia seperti Rochelle dan Nicki, orangtua yang ramah dan penyayang, juga sahabat yang selalu menjaga dan mewakilinya seperti Jim.
Terdengar ketukan di pintu. Otomatis aku terduduk, begitu pula Nils. Kami saling bertatapan dalam diam, menerka siapa yang mengetuk pintu semalam ini.
"Siapa?" seru Nils hati-hati. Dia bangkit, mengambil pistol dari bawah kasur dan berjalan mengendap-endap ke dekatku. Sikapnya yang waswas membuat jantungku nyaris tak mampu berdegup. Aku meninggalkan sofa dan berdiri di belakang Nils, sementara laki-laki itu mengokang senjata tanpa berusaha terdengar.
"Ini Ibu, Sayang." Suara di balik pintu terdengar lembut. "Bolehkah Ibu masuk? Ada yang ingin Ibu sampaikan, hanya kalau Ibu tidak mengganggu."
Ya ampun. Ternyata itu cuma Ibu Mertua. Aku berjalan ke depan namun Nils mencegahku.
"Apa?" tanyaku berbisik. "Itu ibumu."
"Bukannya ibuku pergi ke rumah temannya selama beberapa hari?"
Aku terdiam. Benar juga. Lalu siapa yang ada di depan pintu kamar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...