[5] Menjadi Mrs. Rondhuis

5K 382 130
                                    

Aku tak tahu pukul berapa Nils biasa bangun di pagi hari. Demi peraturan gila yang harus ditaati, pada pukul lima pagi, aku menyibak selimutku dan mati-matian membuka mata. Di seberangku, Nils terbungkus selimut dan dikelilingi begitu banyak bantal. Yang terlihat hanya matanya yang terpejam dan rambutnya yang berhamburan di bantal. Ketika tidur seperti itu, tidak akan ada yang menyangka betapa kejamnya ia saat sedang bangun.

Aku melangkah ke luar kamar, lalu menuruni tangga dengan hati-hati. Di dapur, Rochelle bersama beberapa pelayan lain sedang mengobrol sambil minum teh. Mereka tiba-tiba berhenti saat melihatku di ambang pintu.

"Selamat pagi, Madam," sapa Rochelle, ramah. "Bangun sepagi ini?"

Aku mengusap kepala. "Yah, begitulah. Aku ingin tahu kapan biasanya Nils bangun."

Rochelle melirik jam kecil di dekat lemari es. Dia lalu menatapku lagi. "Biasanya dia bangun pukul ... nah, itu dia sudah bangun."

Mata Rochelle bergerak memandang ke belakangku. Aku berbalik, nyaris saja hidungku menabrak dagu Nils yang belum dicukur. Otomatis aku melangkah mundur. Matanya menatapku seakan aku kutu pengganggu.

"Buatkan aku sarapan," katanya datar. Begitu saja, setelah itu pergi kembali ke lantai dua. Aku dan para pelayan sama-sama diam saja di dapur.

"Mari, Madam, biar kubantu." Untungnya sebagai asisten rumah tangga yang baik, Rochelle tahu cara merobek kecanggungan di dapur. Kudekati para pelayan Nils yang sedang berdiri mengelilingi meja. Mereka memberi tahu apa yang harus kulakukan, mulai dari bagaimana memasak sarapan untuk Nils hingga bagaimana aku harus menata isi baki—yang sangat, sangat, sangat merepotkan dan penuh detail, seperti pinggiran telur yang setitik pun tidak boleh gosong dan potongan apel dan roti yang tidak boleh tidak berbentuk segitiga. Omong-omong, baki itu cantik sekali, terbuat dari kayu dengan ukiran di pinggirannya, dan memiliki kaki yang bisa dilipat sehingga baki tersebut bisa difungsikan sebagai meja.

Setelah selesai dengan perjuangan berat, hati-hati aku membawa baki menaiki tangga. Rochelle juga berpesan padaku untuk mengambil sebuah buku di ruang baca sebelum mengantarkan baki tersebut pada pria sialan itu. Di tengah tangga, aku sempat berbalik memandang ke arah sekumpulan pelayan yang berdiri di dasar tangga; entah mengapa tatapan mereka memancarkan rasa iba, seolah aku baru saja tereliminasi dari bumi.

Di sisi pintu ruang baca terdapat sebuah meja kayu putih berbentuk bulat. Aku meletakkan baki di sana dan masuk ke dalam. Tadinya kupikir aku akan dengan mudahnya menemukan satu buku yang tepat untuk pria itu, tetapi ... ada puluhan, bahkan mungkin ratusan buku di sana. Ini seperti sebuah perpustakaan kecil. Aku menelusuri setiap rak, berkeliling sampai tiga kali dengan teliti—semua bukunya dibalik. Matilah aku. Tidak ada satu pun buku yang belum dibacanya di ruangan ini.

Lalu muncullah sebuah ide yang licik di kepalaku.

Aku mengambil salah satu buku di rak itu tanpa melihat judulnya, kemudian buru-buru meninggalkan ruangan. Kuletakkan buku itu di baki, lalu kulanjutkan langkah menuju kamar.

Pintunya tidak tertutup, jadi aku dengan mudahnya masuk. Nils duduk di tepi kasur, kelihatan jelas baru habis mandi. Saat melihatku di ambang pintu, dia berkata, "Tak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu?"

"Tapi pintunya tidak ditutup," kataku.

"Ini kan rumahku, jadi bersikaplah yang sopan. Keluarlah dan ketuk pintu sebelum masuk."

"Tapi bagaimana aku bisa mengetuk pintu? Kedua tanganku harus memegangi baki ini."

Nils menghela napas. "Kalau kau punya otak, kau bisa punya tiga tangan."

"Apa kau baru saja menghinaku tak punya otak?"

"Ya. Cepat keluar."

Seingatku, selama bertahun-tahun aku bekerja di restoran McDonald's, bosku yang paling galak sekalipun tidak pernah semenjengkelkan pria ini. Bila aku tidak ingat soal Cinnamon, sudah dipastikan aku akan menumpahkan isi baki ini ke wajah Nils, lalu menghantamkan baki ini ke kepalanya sampai ia hilang ingatan. Maka dengan amat terpaksa aku berbalik, memutar otak selama beberapa detik. Akhirnya kuletakkan baki di lantai, lalu mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Kudengar Nils membolehkan aku masuk, jadi aku kembali mengangkat baki dari lantai dan berjalan ke dalam kamar.

Dear Mr. RondhuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang