"Ganti pakaianmu, Mils. Kau akan ikut denganku," kata Nils pada suatu pagi sembari memasangkan arloji ke pergelangan tangan kirinya.
"Ke mana?" tanyaku yang kini beranjak ke depannya.
"Kantor," jawabnya. Dia menunduk mengamati dasinya yang belum terpasang. Kerah kemeja putihnya tegak seperti kerah jubah vampir. Ketika ia menyentuh dasinya, aku langsung mengambil alih.
"Biar kupasangkan."
Dia tidak menolak. Kepalanya menoleh ke samping selagi aku mengikatkan dasi ke lehernya. Setelah selesai, kurapikan kerah kemejanya. Ia menelengkan kepala ke arahku. Kupikir dia akan berterima kasih, tetapi yang dia katakan malah, "Kau sering melakukannya?"
"Melakukan apa?" Aku menepuk kedua bahunya.
"Memasangkan dasi," sahut pria itu. "Apa karyawan McDonald's juga mengenakan dasi?"
Aku memutar bola mata. "Bisakah kau tidak menyinggung soal McDonald's terus-menerus?"
"Memangnya kenapa? Oh, atau kau kacang yang lupa pada akarnya?"
"Kulitnya." Aku mendengus, mengoreksi. "Dan tidak, aku bukan kacang yang lupa pada kulitnya. Aku cuma tidak suka mendengarmu mengatakan hal itu. Kedengarannya seperti mengejek."
"Kata 'akar' yang kugunakan adalah hiperbola, apakah kau tidak mengerti?"
"Terserah," balasku. "Kembali soal tadi. Mengapa aku harus ikut ke kantormu?"
"Aku ingin menunjukkan padamu tentang 'mainan-mainanku'," ujarnya. "Itu sebabnya kau harus ikut."
"Memangnya apa gunanya bila kau menunjukkan 'mainan-mainanmu' itu?"
Nils mengangkat bahu. "Supaya kau tahu pria jenis apa yang sering kauganggu dan sertai ini."
*
"Kantormu pindah?" tanyaku heran.
"Tidak." Nils mengenakan kacamata hitamnya yang katanya lebih mahal daripada sepasang ginjalku. "Ini cuma bagian kecil dari kantorku."
Seorang pengawal membukakan pintu untukku, sementara aku terbengong-bengong dengan mulut terbuka. Di depanku, sebuah toko es krim bertingkat dua menjulang di antara toko koran dan bunga. Bangunan itu dicat berwarna merah muda, berlantai keramik hitam-putih seperti papan catur, juga memiliki beragam ornamen awan, pelangi, matahari, serta hewan-hewan lucu seperti beruang, kucing, anjing, dan monyet. Toko itu sedang sepi pelanggan akibat musim dingin yang mulai mampir.
Seorang pelayan dengan papan nama bertulisan "Diplo" tersemat di celemek sedang memukul-mukul mesin kasir yang mati segan hidup tak mau. Mendengar denting bel dari pintu masuk, pria itu menghentikan kebrutalannya dan memandang ke arahku dan Nils. Para pengawal berpencar ke penjuru ruangan, mengamankan tempat itu.
"Hei, Nils!" Diplo menyapa dengan senyum ramah. "Es krim?"
Nils menyembunyikan tangan ke dalam saku celana, berdiri di depan meja kasir. Tatapannya serius. "Dua es krim. Dua scoop cokelat dan pistachio. Topping M & M's berwarna merah, sembilan butir," ujar Nils.
"Hei," aku menyela, "bolehkah aku minta yang vanila saja?"
Nils menoleh sedikit ke arahku. "Cokelat dan pistachio saja."
Aku menarik napas pasrah.
Diplo berdehem dan menekan tombol mesin kasir. "Hari yang sibuk ya, Nils?"
"Not really," sahut Nils santai. "Akhir-akhir ini tidak banyak yang kulakukan."
"Begitu ya." Diplo beranjak dari hadapan kami, sibuk menyendok es krim ke dalam mangkuk dan menaburkan M & M's—hanya yang berwarna merah, sehingga pelayan yang malang itu tampak kerepotan memilah-milah permen. Tipikal pembuat susah kehidupan orang lain ala Nils.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...