Ibu Nils adalah tipikal wanita pada umumnya: senang berdandan, berbelanja, dan mengoceh. Bila Nils sedang pergi ke kantor, maka tugasku adalah menemani ibunya melakukan tiga hal tersebut.
Yang paling kusenangi dari wanita itu adalah caranya yang selalu mengatakan, "Senang sekali bisa punya anak perempuan, apalagi sepertimu," padaku. Dia berkata aku sangat baik dalam urusan menjadi pendengar. Kadang-kadang dia menyuruhku merebahkan kepala di pangkuannya, lalu ia mengusap rambutku lembut. Setidaknya sosok ibu Nils yang sangat halus mengurangi sedikit kerinduan pada ibuku sendiri.
Bila ia mengajakmu pergi ke salon dan spa, maka jangan harap kau bisa menuntaskannya dalam kedipan mata. Perempuan itu selalu menghabiskan terlalu banyak waktu di sana. Belum lagi kalau urusan belanja, oh, ya ampun. Seakan memborong satu kompleks toko tidak pernah cukup. Aku yang biasa berkutat dengan mesin kasir, penggorengan, dan lantai yang berminyak bisa apa?—yah, walau kabar baiknya aku juga terkena imbas menyenangkan dari hobi ibu Nils itu.
Ibu Nils kadang membicarakan teman-teman sosialitanya. Ada yang baik, modis, bermuka dua, sampai yang hobi menjual koleksi mobil suami sendiri. Menurutku ia sangat berbanding terbalik dengan suaminya.
Sesekali aku juga menemani ayah Nils berdiang sambil minum teh. Pria itu pembawaannya tenang, tidak seperti istrinya yang mirip pasar—ramai. Apa yang ia ucapkan kadang membuatku menyesali bahwa orang ini sudah tua hingga aku tidak bisa menjadikannya suami.
Ayah Nils sangat antusias membicarakan apa pun yang berbau kemanusiaan. Aku pernah mendengarnya berbicara panjang soal keprihatinannya pada kaum minoritas di negara ini, yang kerap kali mendapat perlakuan tidak adil dan stigma tak benar dari masyarakat mayoritas. Buku juga menjadi sahabatnya, persis Nils. Kadang-kadang aku menemukan diri Nils dalam sosok pria itu, namun bedanya Nils bermulut kasar sedangkan ayahnya memilih setiap kata dengan hati-hati.
Mereka kadang membuatku memikirkan orangtuaku sendiri, yang sudah barang tentu amat bertolak belakang. Ibu dan ayahku tidak membicarakan mode dan kaum minoritas, melainkan hanya keluarga, kejadian yang baru terjadi di sekitar kami, dan hal-hal berbau kehidupan yang monoton.
Tapi bila kami semua berkumpul—aku, Nils, dan kedua orangtuanya—maka pembicaraan yang muncul bukan lagi soal kemanusiaan dan kehidupan sosialita.
"Kapan sih, kalian mau punya anak?"
Setiap mendengar pertanyaan itu, aku rasanya ingin sekali menyembunyikan diri ke dalam perut bumi. Nils kadang cuma memberi ekspresi cuek, dan menjawab sekenanya, "Bila masa kontrak The Simpsons sudah habis bersama Fox."
Which is sixty three years to go.
Namun pagi itu, pertanyaan tersebut menjadi jauh lebih intens lagi.
"Sampai kapan kalian mau terus menunda punya anak?" ujar Ibu Mertua. "Kalau kalian terus menunda, kalian akan menyesal bila tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama anak kalian."
Aku cuma menunduk. Nils menguap bosan.
"Benar," kata Ayah Mertua. "Jangan terus menunda-nunda punya anak. Di luar sana banyak sekali orang-orang yang tidak bisa punya anak. Selagi kalian punya kesempatan, maka mulailah untuk mencoba."
Nils melirikku sekilas, seakan menyuruhku berbicara. Namun aku sendiri juga tidak punya kata-kata. Akhirnya ia berkata, "Aku heran mengapa setiap orangtua menginginkan anaknya yang sudah menikah untuk punya anak. Apakah kalian pikir menikah cuma untuk punya anak?"
"Memang bukan cuma, tapi salah satu alasannya, iya," sahut Ayah Mertua. "Ayolah, memangnya apa sih yang menghambat kalian?"
Dan Nils malah memberikan jawaban yang amat tak kusangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...