Ini yang akan kaurasakan saat kau baru saja kembali setelah berada jauh dari rumah: kau akan sedikit kebingungan dengan semua hal yang sebenarnya tidak berubah. Kau meneliti susunan batu trotoar, mengamati bangunan bernuansa bata yang tidak dicat yang berdiri berdempetan satu sama lain, menyentuh tiang-tiang lampu jalanan yang dingin, termangu saat orang yang kaukenal menyapa, dan sepatumu seperti bertanya-tanya ke manakah jalan rumahmu. Itu yang terjadi padaku ketika kembali ke Amsterdam.
Aku merasa linglung berjalan kaki melewati orang-orang yang mengobrol di jalan atau sekadar mengendarai sepeda dan membunyikan bel untuk menyapa orang lain. Aku berjalan dengan pelan memandang aliran kanal yang dulunya kuanggap biasa saja. Aku berhenti sebentar saat menemukan antrean turis di depan Anne Frank Huis. Aku sungguh bingung akan semuanya.
Aku memutuskan untuk berdiri sebentar di dekat sungai, berusaha menenangkan keanehan yang melanda benakku. Kepulangan seharusnya tidak terasa seperti ini. Kepulangan haruslah membawa kebahagiaan, senyuman, dan haru. Bukan kebingungan.
Aku memusatkan pandangan pada kanal, tetapi gambar lain muncul di otakku. Wajah Nils. Wajahnya ketika kami akan berpisah. Wajahnya yang datar menatapku saat memakaikan mantel ke tubuhku.
"Hadiah dari Jim," katanya. "Namanya Lifetime. Antipeluru. Jangan dijual."
Aku tersenyum. "Tolong sampaikan terima kasihku padanya," ucapku. "Oh, dan sampaikan juga salamku pada Nicholas Aasgier kecil. Juga untuk ibunya, Rose. Untuk Nicki juga jangan lupa. Semoga operasi payudaranya berjalan lancar."
Nils mengangguk kecil. Dia tidak sedikit pun membalas senyumku. Aku menepuk lengannya pelan. "Jaga diri, Nils," ujarku.
"Aku selalu menjaga diriku," sahutnya. "Kaulah yang seharusnya jaga diri."
"Aku selalu aman di Amsterdam, percayalah."
"Tidak," kata Nils. "Kau tidak aman. Kau pasti tahu kalau peredaran narkoba sangat tinggi di Amsterdam, jadi kau juga pasti sadar akan ada banyak orang yang bisa melukaimu karena—"
"Wow, wow, oke, Mr. Know It All." Aku terkekeh. "Baiklah, aku tidak aman, tapi aku akan menjaga diriku."
"Itu janji," katanya datar. "Itu janji pada dirimu sendiri."
Aku mengangguk. "Ya, aku tahu."
"Sebab aku tidak akan ada di sana untuk melindungi bila sesuatu terjadi."
Aku berusaha menertawakan ucapan itu, namun tidak ada tawa yang keluar.
"Kau bilang mantan bosmu pernah memukulmu di kepala, ya?" ujar Nils.
Aku mengangguk kecil.
"Di mana tepatnya dia memukulmu?"
Kutunjuk bagian di antara kedua alisku.
Nils melangkah maju. Aku memejamkan mata erat-erat sebab kupikir ia akan memukulku lagi di tempat yang sama. Tetapi dia malah menempelkan bibirnya di keningku, tepat di mana dia dulu pernah memukulku.
Dia selalu membuatku kesulitan untuk meninggalkannya maupun menghilangkan ingatan-ingatan semacam itu, seperti sengaja menciptakan siksaan tak kasatmata. Kini bukan hanya aku merasa berada dalam jarak yang begitu jauh dari Nils. Aku merasa bagaikan melompat ke dalam mesin waktu dan tiba di masa depan, meninggalkan Nils di masa lalu.
"Sweet Mileva!"
Aku menoleh ke asal suara. Tampaklah sosok jangkung dengan rambut pirang yang segera berlari ke arahku dengan semringah. Dia menambah kelinglunganku. Ketika berdiri memandang kaki langit bersama Nils, benakku berkata bahwa Louis dan segala macam hal yang ada di Amsterdam hanyalah ilusi. Tapi coba lihat sekarang. Sesuatu yang bagaikan fatamorgana ini menjulang di depanku, senyumnya lebar, lalu kedua lengannya menarikku ke dalam sebuah pelukan yang membangunkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...