[2] Diculik

5.4K 406 99
                                    

Cahaya mentari telah merekah di langit saat aku beranjak dari kasur. Kembali aku mengecek surel pada kotak masuk, dengan harapan melonjak setinggi gunung mengharapkan balasan. Tetapi tidak ada balasan apa pun. Jadi, kuputuskan untuk menjalani hari seperti biasa.

Cinnamon sedang duduk di meja makan, menyantap roti dengan mentega serta yoghurt stroberi. Ya, selalu begitu. Yoghurt stroberi adalah makanan kesukaannya. Bibirnya yang pucat melengkung membentuk senyuman saat mendapatiku melangkah ke dapur, berseragam pegawai McDonald's.

"Selamat pagi, Sweet Mileva," sapa Cinnamon riang. Kadang tingkahnya yang seperti itu justru menyayat hatiku. Dia selalu bisa bersikap riang seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Seolah dia jauh lebih sehat daripada aku.

"Selamat pagi, Cinnamon Sayang," sapaku. Aku duduk di sebelahnya dan menuangkan susu ke gelas, sementara Ibu sedang memasak panekuk.

Cinnamon berkata dengan nada bergurau, "Rasanya aku iri sekali padamu, Mileva. Ibu dan Ayah menamaimu dengan nama yang manis sekali. Setiap orang harus memanggilmu 'Sweet Mileva'."

Aku tersenyum. Kadangkala banyak orang yang mengira nama "Sweet" yang ada padaku hanyalah julukan, padahal Ibu dan Ayah menamaiku sejak lahir seperti itu. Kata Ibu, itu adalah ide Ayah, agar siapa pun yang memanggilku membuatku merasa manis dalam kondisi apa pun.

"Kau tak perlu merasa iri. Yang terpenting kan orangnya, bukan namanya," kataku. Cinnamon menyendok yoghurtnya dengan lahap sambil menatapku. Pipinya bersemu.

"Omong-omong," Ibu datang sambil meletakkan tiga piring panekuk di meja, "bagaimana soal semalam, Mileva?"

"Ah. Itu." Aku mengusap kepala. "Aku sudah mengirimkan surat lamaranku pada perusahaan itu, Ibu, tapi...."

"Jadi kau mau bekerja di sana?" Mata Ibu terbelalak penuh harap.

"Yah, mungkin aku bisa mencobanya. Tapi ada yang aneh, Ibu."

"Kau mau mencari pekerjaan lain, Mileva?" tanya Cinnamon heran.

Aku menatap gadis itu. "Ya, aku ingin mencoba pekerjaan yang lebih baik," ujarku, berbohong. Cinnamon tidak boleh tahu bila aku mencoba untuk melamar sebuah pekerjaan gila hanya demi biaya pengobatannya.

"Mengapa? Kau tidak suka bekerja di restoran McDonald's? Bagaimana dengan Louis? Kau akan meninggalkannya?"

"Hei, hei." Mendengar nama Louis disebut, pipiku terbakar. Apalagi mengingat apa yang ia katakan semalam. "Aku dan Louis cuma teman, jadi jangan berbicara seperti itu. Lagi pula, bukannya aku tidak suka bekerja di sana, tapi kadang kau harus pindah ke tempat yang lebih baik supaya menjadi orang yang lebih baik pula."

Cinnamon mengangguk. "Kau akan melamar pekerjaan apa?"

"Sekretaris, Cinnamon. Di Amerika," jawab Ibu.

Cinnamon kelihatan tidak terima. "Jadi kau akan pindah ke Amerika, Mileva? Meninggalkan aku dan Ibu?"

Ya ampun. Ini sungguh menyakitkan.

"Tidak, Cinnamon. Maksudku, aku sendiri belum tahu. Semua ini belum pasti. Aku bahkan tidak tahu apakah aku diterima menjadi sekretaris mereka atau tidak."

Cinnamon terdiam menatapku. Sejenak kemudian dia berkata, "Kalau kau diterima, kau sungguh akan pindah?"

Aku tak sanggup menatap Cinnamon, apalagi dengan wajah pucatnya yang selalu mengingatkanku tentang betapa sakitnya ia. Kualihkan tatapanku pada Ibu, biang dari permasalahan pekerjaan menjadi sekretaris ini. Ibu sendiri juga tidak memiliki jawaban, itu tercermin jelas dari pantulan matanya. Akhirnya wanita itu cuma berkata, "Sebaiknya kita habiskan sarapan kita, iya kan?"

Dear Mr. RondhuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang