Nils tampak jelas bukanlah jenis orang yang suka dengan remeh-temeh dan hal-hal berbau keluarga. Tanpa ada perasaan bersalah sama sekali, dia pamit dari rumah neneknya dengan alasan urusan bisnis. Sang nenek walau terlihat cukup kecewa—tentu kecewa, siapa nenek yang tidak merasa begitu bila sudah delapan tahun tak bertemu cucunya?—akhirnya membiarkan Nils pergi.
Kami berkendara selama berjam-jam diiringi dengan mobil pengawal. Sampai hari ini aku belum tahu alasan mengapa pedagang pensil seperti Nils membutuhkan selusin pengawal. Aku tak bisa melihat pemandangan di luar karena Nils melarangku membuka kaca jendela. Kaca jendela itu gelap, tidak membiarkanku melihat apa yang ada di luar sana. Lagi pula, bila aku dibolehkan untuk melihat ke luar pun, aku tak yakin bisa mengenali ke mana tujuan kami—aku belum pernah berada di Amerika kecuali saat ini.
Beberapa saat sebelum kami tiba di tempat tujuan, Nils sempat memberiku sebuah senter kecil berwarna hitam. Dia berpesan, "Masukkan senter ini ke dalam tas tanganmu. Jangan sampai hilang, apa pun yang terjadi."
"Mengapa aku butuh senter?" tanyaku. "Memangnya kita akan menemui pembeli pensilmu di semak-semak?"
Nils berdecak. Dia memegang senter itu dan menyentaknya. Tiba-tiba, pada bagian ujung senter, sebilah pisau mencuat, ujungnya berkilauan ditimpa cahaya lampu dari dalam mobil. Tak ayal aku terkejut dan melesak ke belakang, menjauh beberapa sentimeter dari Nils.
"Ini bukan cuma senter," ujar Nils. Ia menekan tombol kecil di badan senter, membuatnya menyala, lalu menekannya lagi sebanyak dua kali. Pisau pada bagian ujungnya kembali bersembunyi, dan senter itu padam. "Ini juga pisau. Jaga-jaga bila sesuatu terjadi."
Aku tidak langsung menyambut benda itu. "Apa maksudmu jaga-jaga bila sesuatu terjadi?"
"Kau bisa menggunakan pisau untuk memotong tali bila kau diikat. Bila kau dirantai, well, mungkin pisau bisa melonggarkan besinya, entahlah. Atau bila ada orang yang menyerangmu, kau bisa menusuknya dengan benda ini. Intinya, kau—"
"T-tunggu dulu. Mengapa kau mengatakan semua itu? Kita cuma akan menjual pensil, kan? Jadi mengapa kau berkata seolah aku akan diculik?"
Nils menghela napas. "Aku tidak cuma menjual pensil."
Fakta itu lebih mengejutkanku lagi. Benar dugaanku! Nils memang tidak mungkin menjual pensil saja. Tampangnya terlalu jahat untuk menjadi seorang penjual pensil. "I knew it!" seruku.
"Tahu apa?" Nils menaikkan sebelah alis.
"Aku tahu kau memang bukan penjual pensil!" seruku.
"Begitukah? Lalu menurutmu aku berjualan apa?"
"Kau pasti berjualan narkoba, iya kan?!"
Nils tampak tertohok mendengar ucapanku. "What the fuck?"
"Karena kau masih muda dan sangat kaya! Mana mungkin ada orang semuda kau bisa begitu kaya raya kalau tidak berjualan narkoba!"
"Tunggu dulu." Nils mengangkat tangan, tampak tidak terima. "Kau tahu siapa Mark Zuckerberg?"
"Tentu saja!"
"Bukankah dia kaya?"
"Iya!"
"Masih muda, iya kan?"
"Memang!"
"Dan apa dia berjualan narkoba? Tidak, Idiot. Dia menciptakan Facebook. Jadi, tuduhanmu bahwa semua orang muda yang kaya raya berjualan narkoba adalah salah."
Sialan! Dia menjatuhkanku lagi!
"Pokoknya aku yakin kau berjualan narkoba," ujarku. "Kalau tidak, mana mungkin kau bisa begitu kaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...