Aku tak tahu di mana kami berada dan pukul berapa saat ini, namun yang kutahu persis adalah sesuatu yang sama sekali tak bagus menanti kami begitu helikopter yang kami naiki mendarat. Sebuah bangunan pabrik yang terbengkalai menjulang beberapa ratus meter di depan sana. Nicki menggenggam tanganku di balik punggungku, membuatku dilanda kebingungan berlipat ganda.
Aku tak mengerti mengapa ia melakukan itu. Dia mengacungkan pistol padaku dan Nils, namun kini dia memberiku sebuah kunci. Untuk apa? Maksudku, aku tahu kunci kecil yang saat ini berada dalam genggamanku adalah untuk membuka borgol yang membelenggu tanganku, namun mengapa Nicki melakukan itu? Apa yang diinginkannya dariku?
Sementara Snake memerintahkan anak buahnya untuk memasang Good Day pada halaman pabrik, Nicki berkata di telingaku, "Apakah itu Sweet Mileva?"
Aku menoleh sedikit, mendapati perempuan itu mengamati sepatu botsku. "Aku juga tidak tahu," jawabku. Seingatku Sweet Mileva berbentuk wedges, bukan bots.
"Nils-kah yang memberikannya?" tanya Nicki.
Aku mengangguk.
"Bagus," katanya. "Setelah kau mati, aku akan mengambilnya."
Aku menelan ludah.
Sepasang perempuan kembar dengan rambut pirang muncul dari pintu masuk pabrik, tampak gembira menyambut kedatangan Snake. Penampilan mereka—dengan mantel yang melapisi pakaian berbahan jins—membuat mereka tampak seperti model. Keduanya mengobrol sejenak bersama Snake—aku tak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan—namun yang berambut pendek kemudian menengok ke balik bahu Snake, mengamati Nils dan aku. Perempuan itu berjalan ke arah kami berdua diikuti saudari kembarnya.
"Well, well," kata perempuan berambut pendek. "Siapa lagi ini kalau bukan Nils Rondhuis?"
"Masih ingat kami?" ujar perempuan berambut panjang.
"Jalang kembar?" ejek Nils. Meski terikat, tatapannya tetap mampu mengancam.
Perempuan berambut pendek tampak terganggu. Dia melirikku, lalu senyumnya merekah lebar. Senyum yang menakutkan. "Inikah perempuan bernama Sweet Mileva itu? Oh, such a pretty face, benar, Liv?"
Si rambut panjang bernama Liv tampak bosan. "Persis seperti yang kulihat di foto," katanya. "Memang cantik, tapi kelihatan bodoh, Mim."
Mim mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku. Dari pergerakannya, kuyakin dia sangat terlatih dengan benda itu. "Kita lihat apakah dia masih cantik dengan sedikit perubahan."
Napasku memburu saat pisau itu mendekat. Nicki mencegah tubuhku bergerak mundur. Tawa yang keluar dari mulut Liv membuatku tak dapat menahan teriakan. Nils murka, mulutnya deras meluncurkan ribuan kata makian, bersiap menerjang namun Jim melumpuhkannya dengan pukulan di ulu hati. Aku memalingkan wajah, namun tangan Liv menjambak rambutku, memudahkan saudari perempuannya menorehkan ujung mata pisaunya ke pipiku.
"Nils!" teriakku. Aku tak mengerti apakah cairan yang mengalir di pipiku adalah air mata atau darah. Liv dan Mim tertawa-tawa.
"Ayolah, Mim!" seru Liv kemudian. "Harusnya kau merobek sudut bibirnya agar membuatnya tersenyum seperti Joker!"
"Such a good idea!" seru Mim. Matanya yang biru memancarkan kebengisan yang membuat tulang punggungku membeku. Tanda bahaya berbunyi keras dalam benakku. Yang bisa kulakukan saat ini adalah memohon pada Tuhan agar mengasihaniku, dan meneriakkan nama Nils.
"Hei!"
Teriakan Drew menjeda pisau di tangan Mim menoreh sudut bibirku. Kedua perempuan di depanku menoleh. Drew berkata, "Jangan siksa dia sekarang. Kita lakukan nanti bersama-sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...