Nils mengambil bolpoin dan secarik kertas, menuliskan sesuatu yang terlihat singkat. Dia melipat kertas itu kecil-kecil, lalu menggesernya dengan bolpoin tepat ke depanku. Begitu kubuka, isinya adalah nomor telepon dengan nama Nils.
"Apa ini?" tanyaku heran.
"Nomor teleponku," jawab Nils enteng.
"Aku tahu ini nomor teleponmu, tapi apa maksudnya?"
"Kita orang asing," ujarnya dengan gaya yang diplomatis. "Jadi kau harus mengajakku berkenalan."
Aku semakin bingung. "Untuk apa? Aku sudah mengenalmu."
"Tidak. Kau tidak mengenalku. Aku orang asing." Sekali lagi Nils menekankan. "Telepon aku dan ajak aku berkenalan."
"Kenapa harus aku? Kenapa tidak kau saja yang mengajakku berkenalan? Dan kenapa kita harus melakukan semua ini?"
Nils mengerang kesal. "Kau selalu saja banyak bertanya," keluhnya. "Kau harus mengenalku. Karena kau membutuhkanku untuk pulang ke Amsterdam. Kau tidak mungkin meminta bantuan orang asing untuk kembali ke kampung halamanmu, bukan?"
"Lalu kenapa aku harus menelepon? Tidak bisakah aku 'mengajakmu berkenalan' secara langsung dengan percakapan seperti ini?"
"Karena 'menelepon' adalah cara yang paling umum digunakan ketika kau ingin mengajak seseorang berkenalan," terang Nils. "Telepon aku sekarang juga, kau harus mengenalku secepatnya."
Seharusnya dia tidak perlu melakukan semua ini. Aku sudah tahu semua hal tentang dirinya tanpa harus berbasa-basi mengajak berkenalan. Aku bahkan bisa membuatkan sebuah makalah untuk membahas tentang Nils baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Ini sungguh merepotkan. "Tapi aku tidak punya telepon."
Nils menatap ke sekeliling. "Kalau begitu berpura-puralah kau memilikinya."
Aku meraih botol kaca berisi garam yang terletak di meja, lalu memencet-mencetnya dengan jempol seperti memencet nomor telepon. Nils mencengkeram pinggiran meja, kelihatan keras menahan tawa. Aku sekarang mengerti dia melakukan ini hanya untuk menjailiku. Dasar pria gila. Kudekatkan botol garam ke telingaku.
Nils mengambil ponsel di saku celana, lalu menempelkannya ke telinga. Dia berkata dengan nada yang menyebalkan, "Siapa ini? Aku sedang tidak butuh telepon penuh desahan."
Aku memutar bola mata. "Ini aku," kataku.
"Aku siapa? Aku akan mematikannya sekarang juga."
"Tunggu dulu!" Bodohnya aku berseru seolah aku memang sedang menelepon Nils sungguhan. "Ini aku, Sweet Mileva. Perempuan yang kauberi nomor telepon tadi."
"Ah." Nils manggut-manggut. Dia tampak menikmati momen di mana ia bisa membodohiku dengan leluasa ini. "Perempuan yang bodoh dan menyebalkan itu?"
"Terserah." Aku menghela napas. Dia tertawa.
"Ada apa kau meneleponku?"
"Aku ingin berkenalan denganmu," jawabku.
"Itu saja?"
"Apanya yang itu saja? Memangnya kau ingin aku melakukan apa?"
Nils tersenyum. "Kau harusnya mengajakku makan malam bila ingin berkenalan."
"Kenapa aku harus melakukannya?" tanyaku sengit.
"Karena itulah cara yang paling umum digunakan ketika kau ingin mengajak seseorang berkenalan," jawabnya ringan.
Aku menghela napas dalam-dalam. "Kupikir kita bisa makan malam? Kau tahu, kita juga bisa mengobrol sekaligus. Bisakah?"
Nils memiringkan kepala, tampak berpikir. "Hmm, sebenarnya malam ini aku sibuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...