[6] Mils dan Nizzle

5.3K 407 78
                                    

Tinggal di sebuah mansion tidak semenyenangkan kedengarannya bila pria seperti Nils juga ada di sana. Hari-hari yang kujalani di mansion itu sungguh membuatku menderita secara mental. Nils akan memperlakukanku seperti ratu di depan ibu dan ayahnya, tetapi bersikap sebaliknya bila mereka tidak ada.

Aku bisa mengambil contoh, saat akan menemani ibunya menemui kurator dalam acara lelang lukisan. Acara itu digelar pada malam hari. Di depan ibunya, Nils memprotesku yang ingin bepergian dengan mengenakan baju tanpa lengan, dengan ucapan menggelikan seperti, "Kau bisa kedinginan," yang akhirnya membuatku terpaksa berganti baju. Tetapi saat kami berdua berada di dalam kamar yang sama, hendak tidur—aku di sofa, dan ia di kasur—dia akan berkata, "Nikmati saja sofamu itu," mengejek tulang punggungku yang remuk karena kerasnya benda yang sesungguhnya tidak patut disebut sofa itu.

Ketika ibu Nils melihat lemariku—Nils sudah menyiapkan baju untukku selemari penuh—dia berkata, "Bajumu terlalu sedikit, Sayang!" dan Nils langsung membeli satu lemari baru lagi dan mengisinya hingga penuh. Bahkan lengkap dengan beha dan celana dalam. Aku sampai berdecak heran saat menemukan semuanya dalam ukuran yang pas denganku. Dan ketika ibunya tidak ada, dia menuduhku, "Kau pasti sengaja menunjukkan lemarimu pada ibuku supaya bisa memanfaatkan kesempatan, iya kan?"

Belum lagi dengan ayah Nils. Pria itu juga suka membaca buku, namun tidak sefanatik putranya. Pada malam hari, ketika tidak ada acara apa pun yang harus dihadiri, mereka berdua duduk di ruang baca, membicarakan buku. Bila aku menengok ke dalam, Nils akan melambai memanggilku, lalu ketika aku mendekat dan duduk di sebelahnya, dia akan merangkulku, mengajakku membaca bersama.

Tapi bila tidak ada ayahnya, lain lagi.

"Untuk apa kau datang kemari? Aku bahkan tidak yakin kau bisa membaca," ujarnya suatu kali, saat aku melongokkan kepala ke ruang baca.

Kali lain, dia berkata, "Kau yakin sudah membersihkan debu dari telapak tanganmu sebelum menyentuh bukuku?"

Dalam keremangan kamar, sempat beberapa kali tercetus rencana-rencana gila untuk membunuhnya seperti membekap wajahnya menggunakan bantal saat tidur dan cara-cara lainnya. Tapi aku sendiri tidak yakin apakah aku sanggup membunuh orang. Lagi pula, pikirkan saja konsekuensi bila rencanaku gagal—bisa-bisa dia menjadikanku sarden.

Namun kuakui, pada saat-saat tertentu seperti bila ia memperlakukanku dengan baik di hadapan orangtuanya, aku selalu dikejutkan dengan sikap-sikapnya yang berbeda itu. Seakan ... dia memang pernah memperlakukan wanita dengan lembut dan hangat. Seakan dia memang pernah mencurahkan perhatian pada wanita. Seakan dia memang tahu cara-cara memperlakukan wanita. Apa semua hal itu ia pelajari dari buku? Tapi bila iya, apa mungkin bisa selancar itu? Rasanya juga tidak mungkin ia berlatih terlebih dahulu—aku bisa menebak Nils bukan tipe pria yang semacam itu. Dia hanya akan menganggap hal-hal tersebut omong kosong.

Ah, ya. Satu hal lagi yang masih menjadi misteri bagiku. Aku tidak pernah melihat Nils tersenyum apalagi tertawa. Suatu hari, ketika ayahnya membicarakan sesuatu yang menyenangkan, dia berkata, "So excited," tanpa ekspresi apa pun. Atau, "Aku senang sekali," tapi tidak dengan senyum apalagi tawa. Bahkan saat Jim dan Nicki bergurau dengannya, dia tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

Jangan-jangan, dia psikopat.

Ah, jangan sampai itu benar.

Sebab aku tidak mau tinggal seatap dengan seorang psikopat.

Pada hari Thanksgiving, tanpa sengaja aku terbangun kesiangan, sebab semalam aku menemani ibu Nils menonton serial televisi favoritnya hingga dini hari. Nils sendiri sudah tidak ada di seberangku. Ini benar-benar gawat. Aku sudah melanggar peraturan nomor satu. Buru-buru aku melompat dari sofa, mengenakan jubah mandi dan mengikat rambut asal, lalu keluar dari kamar. Aku tak tahu Nils ada di mana saat ini, namun kakiku membawaku menuruni tangga lalu menuju ke dapur.

Dear Mr. RondhuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang