Sesampainya di depan pintu apartemenku, Louis menampilkan senyum di wajahnya. Namun senyuman itu terkesan pahit dan dipaksakan. Ini mengingatkanku pada malam di mana Louis mengutarakan perasaan setelah kami pulang dari restoran McDonald's—namun jelas suasananya berbeda. Padahal baru setahun yang lalu hal itu terjadi, namun rasanya seperti sudah jutaan tahun.
"Kau mau mampir dulu, Louis?" tanyaku.
Louis menghela napas. "Kurasa aku langsung pulang saja."
Aku mengangguk pelan. Kecanggungan menyelinap di tengah-tengah kami. Aku menunggu hingga Louis pergi namun dia tak kunjung beranjak.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu, Sweet Mileva?"
"Tentu."
Louis menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Kau cuma menganggapku sebagai teman sejak awal, bukan?"
Aku menatapnya.
"Aku cuma mau memastikan kok," katanya lagi. "Memastikan kalau dugaanku salah."
"Memangnya apa dugaanmu?"
"Kuduga kau punya perasaan yang sama padaku," ujar Louis. Dia menatap sepatunya. "Maksudku, dulunya aku menduga begitu. Terutama lewat ucapanmu di telepon waktu itu."
"Memang."
"Maksudmu?" Louis mengangkat pandangan.
"Aku punya perasaan yang sama padamu."
Setitik harapan menyala dalam raut wajah Louis.
"Dulunya."
Dan harapan itu padam secepat kedatangannya. Aku merasa buruk mengatakan itu tetapi aku tak bisa menahannya.
Louis mengangguk dan memberiku senyuman getir lagi. "Aku lega mendengar kepastian itu."
Aku tak tahu apakah aku lega pula.
"Omong-omong, apa sih yang terjadi antara kau dan pria aneh itu?" tanya Louis.
Setelah menimbang beberapa saat, kuputuskan untuk menceritakan semuanya pada Louis. Kuungkapkan semua yang telah kulalui, mulai dari lowongan pekerjaan sekretaris yang ternyata menjebak demi mendapatkan istri kontrak, hingga soal sindikat perdagangan senjata dan rencana pemusnahan dinas rahasia. Louis tampak tidak bernapas mendengar uraian singkatku usai.
"Jadi pria bernama Nils Rondhuis ini menempatkanmu dalam bahaya, tapi dia juga melindungimu?"
Aku mengangguk. "Kurang lebih begitu."
"Dia mencintaimu?"
"Dia ...." Aku berusaha memilih kata yang tepat. "Dia orang yang kompleks, Louis. Aku tidak bisa mengatakan apakah ia mencintaiku atau tidak."
"Dan kau mencintainya?"
"Aku benci mengatakan ini di depanmu, tapi ...." Aku mengangguk.
"Mengapa?"
"Itu juga hal yang sulit untuk dikatakan," jawabku. "Aku mencintainya dengan alasan yang mungkin sulit untuk kaumengerti. Dan aku tidak mau mengakui hal itu di depannya karena dia sangat menyebalkan."
Louis tertawa kecil. Dia tidak kelihatan semuram tadi. "Bagaimana bisa kau mencintai orang yang menyebalkan?"
Aku tersenyum. "Aku sendiri juga tidak tahu."
"Tapi sungguh, Sweet Mileva. Aku ingin tahu mengapa kau mencintai orang yang kedengaran berbahaya seperti ia."
"Oh, dia bukan sekadar kedengaran berbahaya, namun ia memang berbahaya, percayalah." Aku menatap Louis sungguh-sungguh. "Kau tahu, bagiku dia seperti buku yang tidak memiliki halaman akhir. Dia seperti buku yang halamannya terus bertambah saat kau berpikir kau akan segera membacanya sampai habis. Dan itu membuatku tidak bisa berhenti membacanya. Ya, dari wajahmu, aku tahu kau tidak mengerti apa yang kumaksud."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...