[31] Please Come Home

3.7K 370 65
                                    

"Jadi begitulah, Sweet Mileva. Kurasa tidak akan pernah tertebus dosa-dosaku terhadap orang-orang itu."

"Itu sudah lama sekali, Sir."

"Ya, namun semakin lama ingatan itu bukannya menghilang, melainkan semakin memupuk perasaan bersalah dalam diriku."

Kupandangi pria tua yang duduk menghadap jendela itu. Aku menekan papan ketik untuk mengakhiri paragraf terakhir yang kutulis sore itu. Mr. Schaffner mengusap medalinya yang sudah usang. Tatapannya sayu. Lehernya tertekuk hingga dagunya yang kasar menyentuh dada. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Rasanya medali ini tidak cocok tersemat di mana pun," ujarnya. "Medali ini semakin mengingatkanku pada kematian teman-teman seperjuanganku."

Kematian. Kata itu selalu menjadi kata sandi untuk menguak ingatan tentang Cinnamon di benakku. Sudah hampir setahun sejak aku kembali ke Belanda, melewatkan pemakaman adikku sendiri, dan menontoni pesan terakhirnya bersimbah air mata.

Sudah hampir setahun juga ibuku tak tahu bahwa aku telah berbohong bekerja menjadi sekretaris di Amerika. Tetapi kabar baiknya, kini aku sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik ketimbang dulu. Mirip sekretaris, yakni menulis artikel untuk situs yang dikelola salah satu kantor berita di Amsterdam. Pada akhir pekan, aku membantu Mr. Schaffner, seorang veteran perang pada masa Perang Dunia 2, menuliskan kisah hidupnya sebagai seorang prajurit.

"Aku tak tahu rasanya ikut berperang, Mr. Schaffner," ujarku. "Namun aku tahu rasanya ketika menemukan kematian orang-orang yang berarti. Tidak akan lepas dari ingatan, memang, karena kematian mengikuti bagaikan bayang-bayang."

Mr. Schaffner menyunggingkan senyum sedih. "Aku senang kau mampu memahami itu," ujarnya.

"Setidaknya kita dapat menghirup udara bebas kini," kataku. "Terima kasih untukmu dan teman-temanmu yang pemberani."

Mr. Schaffner menyimpan medali ke dalam saku celana. Ada secercah harapan merekah di wajahnya. "Jadi apa yang akan kaulakukan sore ini, Sweet Mileva?" tanya pria itu, kini memandangku.

Aku mematikan laptop dan menyimpannya ke dalam tas. "Aku akan menemui adikku," kataku. "Aku berjanji pada diriku sendiri untuk datang ke makamnya setidaknya satu kali dalam seminggu. Meski dia sudah tidak ada, dia tetap berjasa begitu banyak untuk kehidupanku yang sekarang."

"Itu bagus sekali." Mr. Schaffner manggut-manggut. Dia mengantarku hingga ke pintu depan apartemen. "Kapan-kapan aku ingin ikut denganmu menemui Cinnamon. Hanya jika kau tidak keberatan."

"Sama sekali tidak, Sir," jawabku. Di seberang jalan, Louis sedang menungguku dengan sepedanya. Aku mengucapkan salam perpisahan dan menyeberangi jalan, menghampiri Louis yang tersenyum begitu lebarnya.

*

Louis meletakkan sebuket bunga di batu nisan bertulisan "Cinnamon Sophia Buchenwald". Dia lalu berdiri di sebelahku, tepat di bawah sebatang pohon yang sesekali menggugurkan daun ketika ranting-rantingnya tersapu silir angin. Langit tidak mendung, tetapi tidak cerah juga. Udara terasa cukup dingin dan lembap, jadi aku mengancingkan mantelku.

"Menurutku Cinnamon sangat baik," kata Louis. "Dia bahkan tetap peduli pada orang lain ketika sudah meninggal."

"Maksudmu?"

Louis menunjuk pohon di dekat kami. "Pohon ini. Dia kan yang meminta ibumu untuk memakamkannya tepat di dekat pohon?"

Aku mengangguk. Aku masih ingat kalimat Cinnamon, persis. Bila aku meninggal, tolong makamkan aku di dekat pohon. Agar siapa pun yang menziarahiku merasa teduh. Dan ya, adikku itu memang baik sekali. Aku selalu merasa teduh setiap kali berdiri di bawah pohon itu, walau kadang diam-diam aku bertanya apakah dia merasa teduh di bawah gundukan tanah.

Dear Mr. RondhuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang