Aku mengembalikan cincin ke tangan Nils. Tanpa sengaja kulihat selembar kertas kecil di dalam lemari. Selagi Nils mengembalikan cincin kembali ke kotak, aku mengambil kertas tersebut, yang ternyata adalah selembar foto.
Di dalam foto itu, Nils merangkul bahu seorang perempuan bertubuh langsing dengan rambut dikepang dua. Perempuan itu tidak menatap ke kamera. Matanya justru terarah pada Nils. Tingginya sedagu Nils, dengan kulit mulus kecokelatan yang terawat. Tawa yang terbentuk di bibir perempuan itu kelihatan bahagia dan tulus, setulus senyum kecil yang dilontarkan balik oleh Nils. Mata Nils juga tidak menatap kamera. Dia ... jauh berbeda dari Nils yang kuketahui selama ini. Senyumnya tidak dipaksakan. Senyum yang benar-benar ... senyum, yang dihasilkan dari perasaan gembira yang sesungguhnya.
Mungkin Nils sudah lupa cara tersenyum seperti ini. Aku sungguh prihatin. Maksudku, adikku yang masih muda, yang menderita karena sakitnya pun tahu cara tersenyum yang lebih baik daripada orang-orang bahagia pada umumnya. Dan Nils agaknya tidak mencoba mengingat cara itu lagi. Dia terus-terusan membiarkan ingatan buruk mencungkil senyum itu dari wajahnya.
Kuantar Nils kembali ke tempat tidur. Kali ini ia tidak menginginkan ada barikade apa pun di kasur. Saat kuselimuti tubuhnya, sambil memejamkan mata, bibirnya bergumam, "Barikade itu hanya mengingatkanku tentang betapa kosongnya kasur ini."
Aku sendiri juga kembali ke kasurku alias sofa. Kuhela napas panjang ketika tulang punggungku harus kembali menyapa benda yang kerasnya hampir menyamai hati si pemiliknya ini. Begitu aku hendak kembali melanjutkan tidur, kudengar Nils berbicara pelan.
"Mileva."
"Ya?" Aku menoleh, memandang punggung Nils jauh di depanku.
"Sebenarnya kau mengerti tidak apa yang terjadi malam ini?"
"Aku mengerti," jawabku. "Kau merindukan Gabriela."
"Bagaimana kau bisa tahu kalau ia bernama Gabriela? Aku bahkan tidak menyebutkan namanya."
"Aku memaksa Nicki menceritakannya," kataku.
"Mengapa kau memaksa?"
"Tentu saja karena ingin tahu."
"Kenapa?"
Aku terdiam sejenak. "Karena aku ingin membacamu."
Setelah itu Nils tidak menyahut. Tampaknya dia tertidur. Maka aku pun memejamkan mata, mencoba melupakan masalah ini sejenak.
*
Siapa pun bisa menebak kalau aku bangun kesiangan untuk yang kedua kalinya sejak tinggal di rumah Nils. Kelabakan karena tak menemukan Nils di kasur, aku terjatuh dari sofa. Keningku sempat menghantam tepi meja. Kuusap keningku yang malang sambil merintih. Mengapa nasibku selalu sial?
"Mengapa kau seceroboh itu?"
Suara Nils menyapa telingaku. Aku menoleh, menemukan ia sedang mengancingkan kemeja di depan cermin. Rambut cokelatnya sudah tersisir rapi. Dia terlihat baik-baik saja, seolah semalam pria yang sedang mabuk dan menembaki buku dengan membabi buta itu bukan dirinya.
"Kupikir kau sudah pergi," ujarku, bangkit dari lantai dan berjalan ke pintu. "Aku khawatir kesiangan sampai tidak membuatkanmu sarapan."
"Jangan cemas," katanya, merapikan kemeja. "Hari ini aku akan makan pagi bersama Jim dan Nicki."
"Oh." Aku mengangguk dan mengusap mata, masih agak mengantuk.
Nils menggantungkan dasi ke leher. Kuurungkan niat keluar dari kamar, memilih mendekati Nils dan membantunya mengenakan dasi. Saat dia akan membuka mulut, aku berkata, "Tolong jangan singgung soal pekerjaanku sebagai karyawati McDonald's lagi. Kami tidak mengenakan dasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...