Mansion dalam keadaan sepi ketika Jim mengantarku dan Nils kembali. Tak tahu sudah pukul berapa saat ini. Nils menyeret langkah, sementara di sisinya, aku masih tak bisa menghilangkan gemetar di tubuhku.
"Nils, dalam skala satu sampai sepuluh, berapa besar risiko kematian yang kupunya karena bersamamu?"
"Sebelas."
Aku tak percaya dia menjawab seperti itu, dengan cuek dan tidak bersungguh-sungguh pula! Apa dia tidak tahu kalau aku mencemaskan nyawaku setengah mati? Aku tidak mau mati sia-sia begini!
"Aku ingin pulang ke Amsterdam, Nils!" teriakku, namun suara yang keluar justru seperti tercekik.
Nils mendesis, menempelkan telunjuk ke bibir. "Jangan keras-keras," ujarnya setengah berbisik. "Orangtuaku tidak boleh mendengar hal itu."
Sendi-sendi lututku kehilangan kekuatan perlahan. Tak sanggup melangkah, aku terduduk di rumput dan mulai menangis. Aku belum mau mati. Aku cuma ingin mendapatkan uang agar Cinnamon bisa sembuh, bukan dengan menantang maut seperti ini.
Nils diam di tempat, memandangku dengan kedua alis menyatu. "Apa yang kaulakukan?"
"Aku ingin pulang," rintihku.
"Kau tidak boleh pulang," sahutnya penuh penekanan. "Belum. Kau masih terikat kontrak denganku."
"Aku tidak peduli." Aku menyapu air mata dengan lengan. "Aku mau pulang. Aku tidak mau mati di negara asing ini, sendirian, sementara keluargaku menantiku di rumah."
Nils berdecak kesal. Dia kini sudah tidak perlu menyumpal hidungnya. Agak terpincang-pincang, dia menghampiriku lalu duduk menghadapku. Aku terus sesenggukan sambil menutupi sebagian wajahku dengan lengan.
Nils tidak menatapku dengan kebencian. Justru sorot matanya redup. Itu membuatku mulai cemas pada luka-luka di wajahnya juga. Dia meraih lenganku, menjauhkannya dari wajah. Pelan-pelan dia berkata, "Kau tidak akan mati."
"Kau bilang risiko kematianku—"
"Akan kupastikan kau tidak akan mati," sela Nils. "Walau aku mati sekalipun."
"Mengapa kau bilang seperti itu?" Aku menabok bahunya keras. "Kalau kau mati, aku pasti juga akan mati!"
Nils meringis kesakitan memegang bahunya. "Shit," gumamnya. "Kubilang jangan berteriak."
"Aku tidak peduli! Pokoknya aku ingin pulang, Nils. Kumohon. Biarkan aku kembali ke Amsterdam."
Nils menangkupkan telapak tangannya ke bibirku, membungkamku seketika. "Kubilang jangan berteriak. Astaga, mengapa sih kau keras kepala sekali?"
Aku menepis tangannya, namun tangannya yang satu lagi bergantian menutup mulutku.
"Kau mengalami trauma," kata Nils. "Cobalah untuk tenang, dan biarkan aku bicara. Bisa kan?"
Aku mengangguk, tetapi dia tidak menjauhkan tangannya dari mukaku.
"Kau tidak akan mati hanya karena bersamaku," ujar Nils. "Karena kau tidak ada hubungan apa pun dengan pekerjaanku."
Aku menatapnya baik-baik, menanti kelanjutan ucapannya.
"Kau juga belum bisa pulang. Aku masih membutuhkanmu di depan orangtuaku. Dan hari ini aku akan mengirimkan upahmu ke Amsterdam. Kau merasa lebih baik sekarang?"
Aku menggeleng.
Nils menghela napas frustrasi.
"Kau akan pulang dalam keadaan hidup dan sehat. Aku akan menjamin itu. Kau juga akan kupulangkan setelah ibu dan ayahku pergi dari rumahku, aku janji. Kau dengar aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...