"Selamat siang, Mrs. Rondhuis. Anda merasa lebih baik?"
Perawat berambut hitam itu tersenyum sambil meletakkan makanan di meja tepat di sebelah ranjangku. Aku berusaha keras untuk membuka mata dan mengamati keadaan sekitar. Denyut di lengan kananku membuatku menoleh. Perbannya masih kelihatan baru.
"Semoga cepat sembuh, Mrs. Rondhuis," kata perawat itu sebelum undur diri. Aku tidak menyahut, hanya mengamatinya yang lenyap di balik pintu. Sepertinya orang-orang di negara ini benar-benar percaya bila aku adalah "Mrs. Rondhuis".
Agak jauh dari ranjangku, sebuah buku tergeletak di meja berkaki rendah. Aku mengangkat kepala sedikit untuk mencari tahu buku apakah itu. Rupanya sesuatu yang familiar. The Metamorphosis, karya Franz Kafka.
Apakah Nils ada di sini?
Tak lama setelah itu, kudengar ketukan singkat di pintu. Aku menoleh, menemukan Nils yang memegangi gelas kopi Starbucks dan sepotong croissant. Dia berhenti sejenak setelah menutup pintu, menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.
Senyumku terkembang secara otomatis. Aku belum pernah sebegitu bersyukur melihatnya.
"Kau sudah sadar rupanya," kata Nils. Nada bicaranya datar. Dia duduk di sisi kiri ranjangku, melemparkan pandang ke jendela sejenak. Lalu melahap croissant-nya lagi. Ada beberapa lebam dan bekas luka di wajahnya, yang sebagian ditutupi plester luka.
Aku tidak menyahut. Aku belum pernah sebegitu bersyukur melihatnya.
"Kau lapar?" tanyanya setelah ia menuntaskan potongan terakhir croissant. Aku tetap menatapnya. Dadaku dibanjiri dengan rasa syukur.
"Apa kau tiba-tiba bisu?" tanyanya lagi. Dia meneguk kopi sedikit. Aku tidak bisa berhenti memajang senyum.
"Kau aneh," katanya. Dia tampak tersipu, namun berusaha kuat menutupinya demi menjaga gengsi sebagai pria yang kaku. Dia meletakkan gelas kopi di sebelah buku dan kembali duduk di sisi ranjangku.
Aku terus menatapnya.
"Lenganmu patah, omong-omong," kata Nils sambil menyentuh lenganku. "Tampaknya itu bukan oleh-oleh yang bagus untuk dibawa ke Belanda, ya?"
Aku tak sedikit pun mengenyahkan pandangan darinya.
"Kau mau bicara atau tidak? Kalau tidak, aku akan membiarkanmu sendirian dan kembali membaca," ujarnya. Aku meraih pergelangan tangannya dan mengusapnya lembut.
Nils menatapku. Aku pun berkata, "Aku sangat bersyukur melihatmu."
Pria itu menarik napas dan memutar bola mata. "Dramatis."
Ini pertama kalinya aku tersenyum mendengar gerutu Nils.
Pria itu berpindah ke sofa di dekat jendela, berbaring dengan kepala disangga sebuah bantal berwarna merah tua. Dia melepas sepatu, membiarkan sepasang kakinya yang terbungkus kaus kaki bermotif kotak terjulur di lengan sofa. Aku berbaring menghadap ke samping, memandanginya yang mulai membaca buku. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati dari mana ia mendapatkan kaus putih bertulisan Krispy Kreme yang dikenakannya saat ini.
"Kau akan pulang minggu depan," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari halaman buku. "Sebab dengan kondisi lengan seperti itu, kau tidak bisa pulang lebih cepat."
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Entah mengapa pikiran akan kembali ke Amsterdam justru menggangguku, bukannya menghiburku. Dan aku teringat akan pemakaman Cinnamon; bukankah dilaksanakan hari ini?
Tiba-tiba ponsel Nils berdering. Dia merogoh ke dalam saku, menatap layar ponsel sejenak. Kepalanya menoleh sedikit ke arahku. "Ini ... ibumu."
Aku mengulurkan tangan untuk menyambut ponsel, namun Nils bergeming. "Kau yakin tak ingin aku saja yang menjawabnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...