"Jaga diri kalian baik-baik, ya," pesan Ayah Mertua sambil memeluk aku dan Nils. Ibu Mertua yang hatinya begitu halus nyaris menangis seakan kami akan berpisah dari bumi.
Nils mengangguk, sementara aku menyunggingkan senyum. Sepasang suami istri itu berbalik meninggalkan kami setelah sang ibu mewanti-wanti untuk sering-sering menelepon. Nils melambaikan tangan dengan wajah datar, bibirnya terkatup rapat. Kedua tangannya terselip ke dalam saku mantel hitamnya yang tidak dikancing. Kami tetap berdiri bersisian sampai ibu dan ayah Nils menghilang dari pandangan.
Nils menarik napas panjang. Dia menatapku sekilas, ingin angkat bicara. Kupikir ia ingin membahas soal kepulanganku ke Amsterdam, namun yang keluar dari mulutnya adalah, "Kita pergi ke toko buku sekarang."
Aku tak menjawab, hanya menyertainya di belakang bersama para pengawal.
*
Nils memegangi pergelangan tanganku ketika kami melangkahkan kaki memasuki sebuah toko buku yang letaknya berada di pertigaan jalan. Bangunan itu bertingkat dua, menguarkan bau kayu dan kertas-kertas tua maupun baru. Beberapa pegawai sibuk menata buku-buku ke rak-rak yang menutupi dinding. Sebagian besar lantai di tempat ini berlapis karpet bulu tipis berwarna krem, tertutup tumpukan buku-buku yang membentuk semacam jalur berkelok-kelok.
Seorang pria tua yang sedang membaca koran di balik meja kasir segera menutup halaman koran begitu melihat kemunculan sosok Nils. Dia meletakkan koran di meja, terlihat semringah menghampiri Nils. "Halo, Nils," sapanya ramah. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak yang dikancing hingga leher di balik kardigan hijau pucat.
Nils mengangguk menatap pria itu. "Tetap muda ya, Mr. Gibson," katanya ringan.
Mr. Gibson tertawa kecil, melepas kacamata. Pipinya bersemburat kemerahan, begitu pula kepalanya yang ditumbuhi hanya oleh sejumput rambut. "Omong-omong, kau tampaknya selalu kekurangan buku untuk dibaca, ya?"
"Begitulah." Dia melepaskan tanganku dan berjalan mengikuti Mr. Gibson. Mereka berbincang-bincang seraya berkeliling, sementara aku berdiri di tempat, sesekali melemparkan pandang ke jendela. Pengawal Nils berjaga seperti patung.
Seorang gadis kecil dengan kostum peri merah muda tiba-tiba muncul melalui pintu belakang. Rambutnya yang cokelat gelap memantul-mantul di bahu, seiring kakinya yang mungil berlari dan melompat-lompat mengelilingi ruangan. Dia membawa sebuah tongkat peri mainan berwarna senada dengan pakaiannya.
"Lisa, jangan menginjak buku, oke?" ujar si pria tua. Gadis kecil itu cuma tertawa, melewati Nils sambil memutar-mutar tongkat peri. Nils mengamatinya seakan bocah itu nyamuk.
Lisa kembali berlari mengelilingi ruangan, mengetukkan mantra-mantra pada setiap buku dengan tongkat dan menggumamkan kalimat-kalimat tak jelas. Nils dan Mr. Gibson masih berbicara, tak mengindahkan bocah kecil dengan sayap kupu-kupu itu. Kemudian, Mr. Gibson berlalu ke pintu belakang, meninggalkan Nils dan Lisa.
Nils menunduk mengamati bocah yang tingginya cuma sepinggangnya itu. Tampak jelas ia tak terbiasa dengan anak kecil. Lisa mendongak membalas tatapan pria itu, mengangkat tongkat, dan berkata, "Wush! Wush!"
"Kau menyihirku?" ujar Nils datar.
Bocah itu terkikik. Dia kembali melakukan putaran "wush wush"-nya pada Nils. Katanya, "Di kelajaanku, semua olang halus bahagia."
"Jadi ini kerajaanmu?" Nils mengedarkan pandangan ke penjuru toko buku.
"Iya!" sahut si gadis kecil bersemangat.
Nils menyentuh mahkota kecil di kepala bocah itu. "Kau ratu di sini?"
"Aku latu peli!" Dia mengangkat tongkat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
Hayran KurguDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...