Aku seharusnya tahu ini dari dulu. Bila kau ingin mengajak Nils berbicara sampai mulutnya pegal, maka bicarakanlah buku—tapi sayangnya dia tidak pernah merasa pegal bila menyangkut soal pustaka, percayalah. Bibirnya seperti memiliki otot ganda bila kau mengungkit soal buku, dan dia membicarakan soal buku tanpa kenal waktu.
Ketika Nils tidak ada di rumah, aku mencoba membaca beberapa buku yang tersusun di raknya. Walau buku-buku yang kubaca selalu berakhir menjadi dongeng sebelum tidur, aku tetap memaksakan kelopak mata agar tidak tertutup kembali saat bangun. Dan, buku-buku koleksi Nils rata-rata tidak memiliki gambar, halamannya beratus-ratus pula. Bahkan beberapa di antara buku miliknya barangkali bisa membuatmu koma jika dihantamkan ke kepala saking tebalnya.
Ketika ia pulang, aku akan mencoba memancingnya berbicara dengan menceritakan buku apa yang kubaca hari itu. Nils benar-benar mendengarkan, bahkan dia tersenyum beberapa kali. Suasana hatinya selalu baik bila menyangkut soal buku. Seharusnya dia sadar bahwa dia bisa saja mengurung semua kedukaannya ke dalam buku. Bila hatinya cerah begitu, dia tidak seperti Nils-kejam-sok-kaya-yang-menjual-bom.
"Ernest Hemingway? Dia bercerita dengan apa adanya," katanya sambil melepas dasi, saat aku berkata membaca The Old Man and The Sea tadi siang. "Hemingway lahir pada masa orang-orang menganggap laki-laki yang kuat adalah laki-laki yang bergelut pada kegiatan yang menggunakan otot. Begitulah. Kurasa aku beruntung tidak lahir pada zaman yang sama dengannya. Tapi sayangnya aku malah lahir pada zaman di mana semua perempuan dianggap bisa melakukan semua hal. Dan mereka menyebutnya emansipasi wanita."
Sejujurnya aku suka mendengarnya berbicara. Ada kecerdasan dalam cara bicaranya, begitu deras mengalir, seolah kata-kata dari bibirnya itu tak ubahnya air terjun.
"Memangnya kenapa kalau perempuan bisa melakukan semua hal?" tanyaku.
"Maka tidak akan ada lagi pekerjaan yang tersisa bagi laki-laki. Pikirkan saja soal ini. Bukankah jumlah perempuan jauh lebih banyak ketimbang laki-laki?" sahutnya. Aku terkikik. Dia tersenyum. Aku tahu ia cuma bergurau dengan pendapatnya itu.
Dia bahkan menertawaiku saat makan malam, saat kuceritakan padanya bahwa buku The Catcher in The Rye membuatku bingung. "Aku merasa seperti diajak jalan-jalan ke New York oleh seorang anak remaja berotak labil, tapi mengapa orang bilang buku itu begitu fenomenal?" kataku.
"Mils, oh, Mils." Nils menggeleng, masih terkekeh. "Begitulah sastra, multitafsir. Kau mungkin merasa seperti diajak jalan-jalan oleh 'bocah berusia enam belas tahun yang membenci semua orang' saat membaca buku itu, tapi sejujurnya buku itu menyimpan makna yang mendalam. Buku itu menceritakan soal perasaan terasing yang dirasakan oleh remaja, terutama pada masa-masa transisi dari dunia remaja ke dunia dewasa. Menurutku itu buku yang bagus. Sangat realistis. Kau menemukan beragam macam orang di sana, seperti yang munafik, yang dewasa sebelum waktunya, yang berengsek, dan masih banyak lagi. Dan semua jenis manusia itu ada dalam kehidupan kita yang sesungguhnya."
Lalu dia terus mencerocos walau fokusku sudah melayang ke mana-mana.
Sebelum tidur, aku duduk di tepi kasurnya dan mengamati buku apa yang ia baca. Judulnya tidak terlihat jelas. Yang bisa kutemukan hanyalah nama penulisnya, yakni Haruki Murakami.
"Omong-omong," katanya sembari bersandar ke kepala kasur, "bukankah kau tidak suka membaca buku? Mengapa tiba-tiba kau membaca buku?"
Aku mengangkat bahu. "Tidak ada yang bisa kulakukan di rumah ini, jadi kupikir sebaiknya aku membaca."
Dia tidak boleh tahu kalau aku membaca hanya demi mendengarnya berbicara panjang lebar.
Nils manggut-manggut. "Kau mau membaca bersamaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mr. Rondhuis
FanfictionDear Mr. Rondhuis, Sehubungan dengan beredarnya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan Anda, saya, Sweet Mileva Buchenwald, sangat tertarik dengan lowongan yang perusahaan Anda tawarkan. Untuk itu, dengan datangnya surat elektronik ini...