[16] Menjadi Kecoa

3.8K 362 52
                                    


Hari-hari berikutnya kulalui tanpa hambatan. Nils tidak menunjukkan sikap-sikap defensif, tapi juga tidak baik-baik amat. Dia lebih sering berpuasa bicara, melewati hari-hari dengan rutinitas biasa: makan pagi dan membaca di kasur, berangkat kerja, pulang pada sore atau malam hari, makan malam dengan makanan yang mudah dicerna, mendengarkan lagu Kenny G. sambil membaca buku, lalu tidur. Tetapi kadang-kadang dia tak langsung tidur juga bila ayahnya mengajak mengobrol sambil meneguk brendi.

Pada suatu kali, Nils menemani ayahnya mengobrol di depan pendiangan setelah makan malam. Kata-kata yang meluncur dari bibir ayahnya tampak meresap ke dalam otak Nils. Dia jarang memberi respons—dia kan memang begitu—tetapi matanya membuatmu tahu kalau ia bersungguh-sungguh mendengarkan.

"Jangan sampai kau menukar uang dengan masa mudamu, lalu ketika di masa tua, kau tidak punya apa-apa lagi. Uang seringnya berkhianat, Nils," kata Ayah Mertua. Dia mengusap bahu putranya lembut. "Hidupmu tidak cuma untuk hari ini."

Nils manggut-manggut. Dia menatap lutut.

"Jangan lupa luangkan waktumu untuk hal-hal yang lebih penting," sambung Ayah Mertua. "Kau bukan bocah kecil lagi, yang harus diajari menentukan prioritas, karena kau pasti sudah tahu bagaimana caranya. Tapi Ayah sungguh berharap bahwa keluarga ada di puncak teratas dalam daftar prioritasmu. Soal harta bisa menyusul. Kita tidak bisa membeli keluarga, Nils, sementara keluarga tidak abadi dan tidak bisa diganti. Uang? Uang bisa diganti dan akan selalu ada di dunia ini."

Nils masih manggut-manggut. Tampangnya mirip bocah lima tahun yang sedang dimarahi orangtuanya.

"Dan keluarga bukanlah sekumpulan benda. Mereka manusia. Tidak cuma diberi nama saja, tapi butuh dipedulikan sebagaimana mestinya makhluk yang punya perasaan. Cobalah untuk membuka dirimu."

"Aku ... tidak yakin," kata Nils canggung.

"Apa yang membuatmu tidak yakin?"

Nils menggeleng. "Entahlah. Mungkin sebenarnya bukan rasa tidak yakin, melainkan lebih karena ... rasa takut."

"Apa yang kautakutkan?"

Nils bungkam.

Ayah Mertua menghela napas. "Cara terbaik mengalahkan rasa takut adalah dengan mengenali rasa takut itu sendiri," ujar pria itu. "Seperti bila kau bertanding tinju. Kau tidak bisa menang bila kau tidak tahu kapan dan bagaimana musuhmu akan menyerangmu. Tapi bila kau mengenalinya, maka kau bisa memperkirakan apa yang harus kaulakukan untuk mengalahkannya."

Nils masih diam, kepalanya terangkat. Saat itulah dia mendapatiku sedang mendengarkan obrolannya bersama ayahnya melalui ambang pintu. Ayah Mertua turut mengikuti arah pandang Nils. Pria berkacamata itu menyunggingkan senyuman halus, senyuman yang biasa diberikan seorang ayah ke anak pada umumnya.

"Kemarilah, Sweet Mileva," ucap Ayah Mertua. Pria tua itu bangkit diiringi erangan yang menandakan pinggangnya tak mau bekerja sama dengan baik. "Tolong gantikan Ayah mengobrol bersama Nils-mu yang keras kepala ini. Pria tua seperti Ayah harus segera tidur."

"Biar kubantu, Ayah." Nils baru akan menyentuh lengan ayahnya, namun ayahnya menggeleng.

"Ayah bisa, Ayah bisa," kata Ayah Mertua. Dia tersenyum lagi saat aku berdiri di depannya. "Nah, Sweet Mileva, selamat malam."

"Selamat malam, Ayah." Aku mengusap lengan pria itu. Dia pun berlalu meninggalkanku dan Nils di ruangan.

Nils kelihatan muram. Maksudku, sebagian besar waktunya memang dihabiskan dengan menampilkan wajah muram, tapi kali ini kemuraman itu berlipat ganda. Kuyakin ucapan ayahnya mengusik pikirannya. Aku mengerti ketakutan Nils yang sebenarnya: dia khawatir bila kepedulian pada keluarganya mengundang bahaya dari orang-orang yang mengincar senjata yang ia buat.

Dear Mr. RondhuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang