"Kak, aku masih bingung yang ini," keluh Fara si gadis kelas 3 SD sembari menggaruk-garuk keningnya menggunakan pensil.
Kening guru les yang duduk berhadapan dengan Fara berkerut. Matanya ia fokuskan pada bagian terakhir yang Fara tulis. "Di mana bingungnya, hayo?"
"Ihh... sepuluh dibagi tiga tuh nggak bisa, Kak! Fara udah ngitung dari tadi juga sisa terus!"
"Coba diinget apa yang Kak Aura kasih tahu ke Fara tadi?" Aura mencoba menarik fokus Fara dengan menggenggam tangan Fara yang tak hentinya bergerak. Tak lupa, Aura memulai lagi dengan senyum dan berkata, "Tidak apa-apa sisa satu atau sisa berapa pun, asal jangan lebih besar dari pembaginya. Coba diitung lagi."
"Eum..." Fara manggut-manggut dan kembali menggeluti soal pembagian yang menjadi pekerjaan rumahnya.
Aura tersenyum lembut melihat semangat belajar Fara. Baginya, nominal rupiah yang ia terima tidak akan terasa nikmat jika anak-anak yang ia bimbing tidak mengalami peningkatan. Awalnya, ia tidak sepenuh hati terjun dalam dunia pendidikan seperti ini. Seiring bergulirnya waktu, Aura merasa telah menemukan dunianya. Keikhlasannya untuk mengajar telah tumbuh, walau belum berani mengakui jika ia mulai memiliki keinginan untuk mendidik.
"Kak..." kali ini bukan Fara yang memanggil, tetapi gadis kecil yang duduk di pangkuan Aura.
"Ada apa Lyn?"
"Lilyn juga mau diajarin hitung-hitungan kayak Kak Fara," rengek si imut berpipi cukup tembam ini. Mata khas oriental itu menatap Aura penuh permohonan.
Aura tersenyum. Ia bergerak sedikit untuk menggeser posisi duduk Lilyn yang cukup membuat kakinya pegal. "Lilyn harus hafal angka dulu, bisa nulis angka, baru nanti Kak Aura ajarin Lilyn hitung-hitungan."
"Lilyn hafal kok, Kak! Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh," Lilyn berhenti untuk mengambil napas, kemudian melanjutkan, "sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas. Lilyn napas dulu."
Aura dan Fara tertawa mendengar celotehan Lilyn. Di usianya yang baru menginjak empat tahun, Lilyn sudah bisa hafal angka sampai puluhan. Juga, Lilyn mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, sehingga ia bisa mudah berinteraksi dengan orang-orang baru di sekitarnya.
"Lilyn juga sudah bisa nulis, Kak," jelas Fara yang baru saja menulis angka sembilan di bawah angka sepuluh dan membuat coretan di bawah angka sembilan.
"Benarkah?"
Lilyn mengangguk, ia beranjak dari pangkuan Aura dan berlari menuju ruang keluarga rumah Fara.
"Lilyn mau ke mana?"
"Mungkin ambil tasnya, Kak."
Aura menganggukkan kepalanya. "Ya sudah, yuk dilanjut. Tadi sampai mana?"
"Ini, sepuluh dikurang sembilan. Satu kan, Kak?"
Aura mengangguk. Ia juga mengecek hasil dari angka sepuluh dibagi tiga yang Fara letakkan di atas garis teratas pekerjaannya. Senyuman Aura kembali terbit. Ia sangat puas dengan kemajuan Fara walau menurutnya belum maksimal.
"Ini limanya diturunin, jadinya lima belas." Fara berhenti mengerjalan dan menatap Aura yang juga tengah fokus ke arahnya. Aura mengedipkan matanya dan Fara kembali menatap pekerjaannya. "Lima belas dibagi tiga. Berarti tiganya ditambah terus sampai ketemu lima belas ya, Kak? Aku males mainan jari."
"Yups..."
Lilyn kembali dengan membawa buku tulis dan pensil. Anak itu juga kembali duduk di pangkuan Aura tanpa pikir panjang. Walau begitu, Aura juga tidak mempermasalahkan kelakuan Lilyn. Ia malah merasa sangat senang karena dengan begini, Lilyn tidak mengganggu Fara yang tengah belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Becoming Stepmother ✅
General Fiction"Aura, maukah kau menjadi ibu pengganti untuk Lilyn?" Aura Nerissa Jasmine tertegun mendapati dirinya dilamar oleh seorang duda beranak satu. Hal yang menohok hatinya adalah, lamaran tanpa kata 'cinta' dari pihak laki-laki. Namun, tatapannya berp...