Ardan beranjak tanpa basa-basi lagi. Aura mengernyit. Ekspresi Ardan ke dirinya terlihat sangat canggung dan kaku. Bahkan Aura sangat jarang melihat Ardan tersenyum pada dirinya dan pria itu malah lebih memilih untuk bercanda dengan Lilyn seolah tak menganggap dirinya ada. Wajar memang, mereka ayah dan anak, sedangkan Aura hanya orang baru. Namun, ia merasa kehadirannya sangat mengganggu Ardan. Kesimpulan itulah yang membuat Aura merasa tidak enak hati. Jangan-jangan Pak Ardan terpaksa menjadikan aku guru les Lilyn.
"Kak..."
"Ya?" Aura tersentak saat mendengar panggilan riang Lilyn. Bahkan, gadis itu kini tengah menatapnya.
"Lilyn mau kenalin Mama ke Kak Aura." Lilyn beranjak untuk mengambil pigura kecil yang ada di atas meja kecil samping tempat tidur. "Ini mamanya Lilyn."
"Oh... hai mamanya Lilyn..."
Ekspresi Lilyn mendadak sedih. Kepalanya tertunduk. "Mama tidak di sini. Kata Papa, Mama tinggal di surga. Terus Lilyn sering diajak ke makam sama Papa."
"Lilyn sedih?"
"Nggak."
Kening Aura berkerut. Ah... Aura mendesah dalam hati. Lilyn adalah anak kecil usia empat tahun yang belum begitu tahu tentang makna orang meninggal. Jadi, wajar saja Lilyn menjawab seperti itu. Fokus Aura tertuju pada foto almarhumah ibu Lilyn yang terlihat sangat cantik. Walaupun memang benar seperti kata Ardan tadi, hidung Lilyn dan mamanya tidaklah mancung. Aura juga dapat dengan jelas melihat kemiripan antara Lilyn dan mamanya. Selain hidung, mata sipit Lilyn identik dengan mata ibunya. Bentuk wajah mereka juga sama. Satu hal yang akhirnya membuat Aura memuji kecantikan mama Lilyn yaitu, terdapat sisi dewasa, keibuan, kelembutan, keramahan, dan kecantikan yang berbaur menjadi satu.
"Kak Aura, kenapa?"
Aura mengerjapkan matanya lagi. "Kenapa?"
"Kakak capek ya?" tanya Lilyn dengan tatapan polosnya.
Aura membalas pertanyaan Lilyn dengan senyuman disertai gelengan. Melihat kakak impiannya itu belum lelah, Lilyn bergerak untuk meletakkan foto ibunya ke tempat awal. Kemudian, Lilyn merangkak untuk minta duduk di pangkuan Aura. Bahkan, Lilyn tak segan-segan menempelkan kepalanya ke dada Aura dan bermanja-manja seolah Aura adalah ibu kandungnya.
"Kak, Lilyn ngantuk," ucap Lilyn setelah menguap.
"Ya udah, bobo aja di pangkuan kakak."
Senyuman Lilyn semakin melebar di tengah kantuk yang melandanya. Ia memeluk Aura dengan sangat erat. Perlahan, tangan Aura mengusap punggung Lilyn. Aura juga bersenandung pelan. Setelah memastikan Lilyn terlelap, Aura memindahkan Lilyn—meletakkan kepala gadis kecil itu di atas bantal.
"Lilyn sudah tidur?" tanya Ardan yang baru saja memasuki kamar putrinya.
Aura mendongak dan tersenyum. "Iya, Pak." Kemudian, Aura turun dari tempat tidur dan berjalan mendekati Ardan. Sebelum benar-benar jauh meninggalkan Lilyn, Aura sempat menoleh dan memastikan Lilyn nyaman dengan posisi tidurnya. "Kalau begitu, saya pamit pulang dulu, Pak," ucap Aura setelah kembali menatap Ardan.
"Mari saya antar."
"Maksudnya?"
"Tadi Mbak Aura datang naik kendaraan umum, kan? Biar saya antar pulangnya."
"Oh, tidak perlu, Pak. Kasihan Lilyn sendiri di rumah. Nanti saya naik ojek saja yang ada di pangkalan depan sana."
Kening Ardan mengerut. Ia mengira-ira seberapa jauh pos ojek dengan rumahnya. Kepalanya menggeleng setelah yakin jika Aura akan berjalan jauh menuju pos ojek di luar kompleks perumahan. "Pos ojek jauh, Mbak. Lebih baik saya antar saja. Saya juga sudah merepotkan Mbak Aura yang seharusnya mengajar les malah mengasuh Lilyn."
KAMU SEDANG MEMBACA
Becoming Stepmother ✅
General Fiction"Aura, maukah kau menjadi ibu pengganti untuk Lilyn?" Aura Nerissa Jasmine tertegun mendapati dirinya dilamar oleh seorang duda beranak satu. Hal yang menohok hatinya adalah, lamaran tanpa kata 'cinta' dari pihak laki-laki. Namun, tatapannya berp...