Ardan menatap Aura yang kini telah memejamkan mata setelah beberapa menit lalu meminum obat. Lilyn yang duduk di samping Aura juga menatap calon ibu tirinya. Ia bahkan menunjukkan tatapan bahagia yang bahkan baru kali ini Ardan lihat. Pemandangan yang sungguh menyejukkan untuk seorang Ardan.
"Seneng, Nak?" tanya Ardan yang pandangannya kini berpindah.
"Eum..." Lilyn mengangguk antusias. "Berarti nanti Mama Aura bobok sama Lilyn? Ikatin rambut Lilyn? Anterin Lilyn ke sekolah kayak mamanya temen-temen?"
Senyuman Ardan terhenti. Walau ia mendapat lampu kuning dari Aura, tetapi ia tidak bisa memastikan bagaimana jalan hubungan mereka untuk ke depannya. Takutnya, semuanya akan berhenti di tengah jalan karena Aura tidak bisa menerima kekurangannya. Bahkan, ada ketakutan lain dari Ardan, di mana ia tidak akan bisa membahagiakan Aura sepenuhnya.
"Iya, kan, Pa?"
"Belum, Sayang. Kak Aura baru menerima lamaran Papa. Jadi, Kak Aura belum bisa tidur sama Lilyn. Kalau Lilyn jadi anak yang baik dan pinter, semoga Kak Aura segera jadi mamanya Lilyn. Tapi inget, jangan lupain Mama Wyna."
"Kenapa belum bisa? Gimana caranya biar bisa?" tanya Lilyn yang kini sudah menelengkan kepalanya.
"Tapi Lilyn janji jangan lupain Mama Wyna dan jangan paksa Kak Aura buat cepat-cepat jadi mamanya Lilyn?"
Lilyn mengangguk antusias dan tersenyum lebar sampai membuat matanya terlihat hanya segaris. "Janji... janji... janji... Lyn kan anak yang baik, Pa." Setelah mengucapkan itu semua, Lilyn menunjukkan jari kelingkingnya dan menautkan dengan jari kelingking Ardan.
"Kalau Papa dan Kak Aura menikah, nanti baru Lilyn boleh panggil Kak Aura 'Mama' dan akan tinggal bersama Kak Aura."
"Ayo, Pa! Papa cepet nikah sama Mama Aura!"
"Kak Aura."
"Mama Aura!"
Ardan menyentuhkan jari telunjuknya di depan hidung. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Lilyn walau terhalang tubuh Aura. "Jangan berisik. Kak Aura tidur." Ardan menatap putrinya yang merespons dengan anggukan dan menirukan gaya ayahnya. "Tadi janjinya gimana? Nggak boleh maksa."
Seketika itu ekspresi Lilyn berubah. Gadis kecil itu cemberut dan menunjukkan tatapan tajam ke arah sang ayah. Bahkan, ia mulai menunjukkan gaya otoriternya, yaitu dengan melipat tangannya di depan dada dan menggunakan tatapan tajam.
"Aerilyn, anak cantik dan baik. Anak pinternya Papa nggak boleh nakal."
"Pokoknya Papa sama Mama Aura harus cepet nikah! Sekarang nikahnya!"
Tiba-tiba Ardan memasang ekspresi jenaka. "Kak Aura, kan, sedang tidur, Sayang." Lalu, Ardan beranjak dan berjalan mendekati Lilyn. Barulah ia mengangkat dan menggendong putrinya. Karena Ardan tahu, semakin lama, Lilyn pasti akan membuat kegaduhan dengan bicaranya yang tiada henti.
"Dibangunin!"
"Lilyn tega? Nanti kalau Lilyn bangunin Kak Aura, terus Kak Aura marah, gimana?"
"Lilyn kasih boneka babi."
"Memangnya Kak Aura itu Lilyn?"
Sebelum Lilyn membalas ucapan ayahnya, pintu kamar rawat terbuka. Tak lama, masuklah sosok sang ayah yang kini membawa tas plastik berwarna putih. Seketika itu Lilyn terdiam dan langsung menyembunyikan wajahnya ke leher sang ayah.
"Selamat malam, Pak."
"Malam." Ayah Aura membalas sapaan Ardan dan sedikit menganggukkan kepalanya. Pria separuh baya itu kemudian meletakkan tas plastik di atas nakas samping tempat Aura tidur. "Ada roti sama air mineral, kamu makan sama anak kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Becoming Stepmother ✅
General Fiction"Aura, maukah kau menjadi ibu pengganti untuk Lilyn?" Aura Nerissa Jasmine tertegun mendapati dirinya dilamar oleh seorang duda beranak satu. Hal yang menohok hatinya adalah, lamaran tanpa kata 'cinta' dari pihak laki-laki. Namun, tatapannya berp...