Bab 4

33.6K 2.1K 49
                                    

Aura masih sibuk mengetik soal Bahasa Indonesia milik ayahnya. Pukul sembilan pagi, Aura yang belum juga keluar kamar, tampak berpuas diri dengan kerja kerasnya. Pasalnya, dari 45 soal pilihan ganda dan lima essay, tinggal tiga soal essay yang belum Aura ketik.

"Ra..." ibunda dari Aura tampak menghela napas panjang. Anaknya memang selalu terlalu fokus sampai melupakan hal lainnya. Semisal ada angin ribut pun, pasti Aura tidak akan mengetahuinya. Merasa pekerjaannya sia-sia, sang ibu mengetuk pintu sekali lagi. "Aura Nerissa..."

Akhirnya Aura terbebas dari belenggu fokusnya dan menoleh ke arah sang ibu yang masih berdiri di sela pintu yang terbuka. Kacamata bacanya segera ia lepas. "Kenapa, Bu?"

"Sarapan dulu. Dari tadi kamu juga belum mandi, kan?"

"Sebentar lagi, Bu. Ini sudah mau selesai, kok."

"Jangan dibiasain terlalu fokus begitu. Ingat pesan Ayah. Nggak baik."

Aura tersenyum, mengangguk dan kembali memakai kacamatanya. Tampaknya sang ibu tidak ingin meninggalkan putrinya seorang diri. Ibu Murti berjalan mendekati Aura dan duduk di sisi ranjang putrinya. Memperhatikan kesibukan putrinya tanpa berniat mengganggu. Bahkan, ketika ponsel Aura bergetar, Bu Murti tetap saja diam dan hanya membaca nama yang tertera di layar ponsel pintar putrinya.

"Selesai?" tanya Bu Murti ketika layar netbook milik Aura mulai menggelap.

"Iya, Bu."

Tangan Bu Murti bergerak untuk membelai rambut panjang Aura yang dibiarkan tergerai berantakan. Aura yang merasa ganjil, menatap sang ibu dengan pandangan penuh tanya.

"Dicek dulu ponselnya, tadi sepertinya ada telepon masuk."

Tanpa menjawab, Aura mengecek ponselnya. Ia hanya membalas beberapa pesan singkat yang masuk dan mengirim pesan kepada si penelepon yang tak sengaja ia abaikan tadi. Bibir keringnya masih saja terkatup. Dari tatapan sang ibu, tampak sekali harapan agar putri pertamanya ini lebih sering menggerakkan bibirnya. Hanya saja, Aura bukanlah seorang anak yang aktif bicara. Sebenarnya sikap pendiam Aura tidak berasal dari kecil. Sesuatu terjadi dan itulah yang membuat sang ibu sangat merindukan kecerahan di wajah putrinya.

"Ra, semuanya sudah selesai, kan? Yuk, sarapan bareng Ibu."

"Ibu belum sarapan?"

Senyuman sang ibu terpancar dengan sangat tulus. "Belum. Tadi Ibu belum lapar." Sang ibu beranjak dan sekali lagi, tangan pekerja keras ibunya itu membelai rambut Aura dengan lembut. "Ibu tunggu di ruang makan ya."

Aura mengangguk. Sepeninggalan ibunya, air mata yang menggenang di pelupuk matanya mulai menetes. Hatinya yang rapuh dan sensitif merasakan kegundahan hati ibunya. Kebohongan ibunya pun Aura tahu. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun. Ia hanya tersugesti untuk diam dan menangis dalam kesendirian. Bagaimanapun, Ibu adalah sosok yang paling pintar berbohong. Aura mendongakkan wajahnya untuk menahan laju air mata yang tak terkendali. Bu, Aura juga ingin menjadi seorang ibu pembohong seperti Ibu, yang mengabdikan hidupnya untuk keluarganya. Yang mencintai anak-anaknya tanpa batas dan tanpa syarat. Tapi apa Aura bisa?

Pandangan Aura kini berpindah pada deretan buku yang tersusun rapi di atas rak. Buku-buku yang rata-rata berhubungan dengan ilmu kependidikan memenuhi tempat itu. Sekali waktu, Aura sangat ingin memusnahkan buku-buku itu. Hatinya tidak di sana. Ia terkadang menyalahkan buku-buku itu yang telah menindih impiannya.

Becoming Stepmother ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang