Perlahan Aura beranjak dari duduknya dan meraih gunting itu. Matanya yang sebelumnya menatap kosong, kini sudah meneteskan air mata bertubi-tubi melebihi tangisnya tadi. Ini kali pertama Aura menentang keras orangtuanya. Lagi dan lagi Aura menyayangkan tindakannya ini. Di masa lalu, bagaimanapun rasa tidak sukanya menguasai, Aura tetap menjalani perintah ayah atau ibunya. Gila! Maki Aura pada dirinya sendiri. Kemudian, ia berkedip dan kembali menatap lekat gunting itu.
"Maafin Aura, Yah, Bu," gumam Aura yang semakin terisak.
BRAK
Aura terduduk dengan keras setelah menjatuhkan tumpukan buku-buku pelajaran dari atas meja. Gunting yang sebelumnya ia pegang, kini terlempar cukup jauh. Setelahnya, Aura menunduk dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa bersalah telah melawan orangtuanya, tetapi ia juga merasa sakit hati dengan sikap dan cara mereka memperlakukan dirinya. Aura mendongak saat merasa sangat sesak untuk bernapas. Dan saat dia kembali menunduk, tatapannya dihadapkan pada buku-buku pelajaran matematika yang berserakan di depannya.
Ayah, Ibu, aku bahkan telah membuang impianku. Aku mengikuti keinginan kalian. Tapi tidak ada ketenangan, kepuasan, dan kebanggaan ketika aku meraih hal yang kalian impikan. Lalu, saat kalian menentangku ini dan itu terus menerus, apakah aku harus selalu patuh? Tidakkah kalian memberiku pilihan? Tidak pantaskah sekali saja aku menjalani hal yang aku impikan? Apa aku tidak layak untuk bahagia dengan keputusanku?
Tangis dan emosi Aura semakin tak terkendali. Sampai akhirnya, Aura mengambil gunting yang terlempar tadi dan tatapannya nyalang ke arah buku-buku tak bersalah. Kemudian, tangan kirinya ia gunakan untuk mengambil buku berjudul Aljabar yang cukup tebal.
"Kalian adalah impian Ayah dan Ibu, bukan impianku. Tidak seharusnya kalian tinggal di kamar ini dengan tenang," gumam Aura penuh kebencian.
Sambil menangis, Aura menggerakkan gunting di tangan kanannya untuk memporak-porandakan buku Aljabar yang masih sangat Aura ingat jika buku itu dibeli sewaktu ia kuliah dulu. Buku itu pun tidaklah murah. Namun, Aura tidak peduli. Kebenciannya yang selama ini ia pendam, ternyata malah bertumbuh subur dan siap merusak apa pun.
"Percuma... semuanya percuma..." gerutu Aura yang tangannya masih bekerja merusak buku berbau matematika itu. "Kalian terlalu mahal, tetapi tidak bisa membuatku bahagia!"
Setelah puas merusak satu buku Aljabar, Aura mengambil buku Geometri Ruang dan tanpa ampun ia merusak buku itu hingga berakhir tragis seperti buku Aljabar. Tidak puas dengan dua buku, buku Geometri Bidang, Teori Bilangan, Analisis Nyata, dan Program Linear juga menjadi korban. Hingga akhir dari segala emosinya, Aura memperhatikan tangannya yang bergetar. Pegangannya pada gunting terlihat sangat kuat.
"Tidak..." gumam Aura sembari menahan dirinya. Tatapannya masih tercatut ke arah gunting dan tangannya yang bergetar. "Tidak!" setelah menekankan satu kalimat itu—masih menggunakan suara lirih—, Aura melempar gunting sejauh mungkin.
"Astaghfirllah..." ucap Aura sembari memperhatikan kedua telapak tangannya. Kemudian, tangannya itu ia dekatkan ke wajahnya dan ia gunakan untuk menutup kedua matanya agar tidak fokus menatap gunting. Pasalnya, ia takut akan lepas kendali dan melakukan hal yang sangat berdosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Becoming Stepmother ✅
General Fiction"Aura, maukah kau menjadi ibu pengganti untuk Lilyn?" Aura Nerissa Jasmine tertegun mendapati dirinya dilamar oleh seorang duda beranak satu. Hal yang menohok hatinya adalah, lamaran tanpa kata 'cinta' dari pihak laki-laki. Namun, tatapannya berp...