Bab 19

24.8K 1.7K 39
                                    

Aura tengah sibuk meracik sembari memasak bersama Lilyn. Tetapi anak itu tidak membantu, hanya terus berceloteh di sampingnya. Bahkan, anak bermata sipit itu terus saja mengikuti ke mana pun Aura bergerak. Dan Aura sama sekali tidak menunjukkan keberatan akan tingkah polah Lilyn. Gadis itu malah tersenyum dan tak lelah menanggapi celotehan calon anak tirinya. Ardan yang memperhatikan hal itu, tak mampu menyembunyikan senyuman dan menutup kebahagiaan yang dia rasakan. Kini, dia berdiri di ambang pintu masuk dapur. Namun, niatnya untuk membantu Aura tertunda karena memperhatikan interaksi putrinya dan calon istrinya yang sangat lembut itu.

"Bunda, perut cumi-cumi itu isinya apa? Kok hitam?" tanya Lilyn saat dirinya memperhatikan cumi-cumi yang Aura bersihkan.

"Isinya tinta, Sayang."

"Cumi-cumi makan tinta, Bun?"

"Tidak, Sayang." Aura yang tengah membersihkan tinta cumi-cumi, kini menoleh dan tersenyum pada Lilyn. Dia bisa melihat sorot penuh tanya dari Lilyn. Hal itulah yang membuat Aura tak pernah bosan melihat setiap ekspresi yang dipasang anak itu. "Tanpa makan tinta, cumi-cumi memang sudah punya tinta di dalam tubuhnya, Sayang. Nah, tinta itu digunakan untuk melindungi diri."

"Melindungi diri?"

"Iya. Semisal ada yang ganggu atau mau nyakitin cumi-cumi, mereka akan menyemprotkan tinta."

Lilyn mengangguk-anggukkan kepala. Senyuman juga terpancar dari wajah penuh binar yang ia miliki. Kemudian, Lilyn berkata, "Lilyn gangguin cumi-cumi, ah, biar nanti disemprot pake tinta."

"Eh, kok Lilyn mau jadi anak nakal?" Ardan akhirnya bergabung dan berdiri di depan putrinya. Tak lupa, Ardan bertukar pandang dengan Aura.

"Lilyn nggak mau jadi anak nakal, Pa. Lilyn anak baik."

"Yakin?"

"Yakin!"

Melihat Lilyn yang mulai cemberut, Ardan tertawa. Di samping mereka, Aura hanya sesekali memperhatikan sembari membersihkan cumi-cumi. Namun, ia juga tak lupa untuk ikut tersenyum.

"Bunda Aura, kalau ganggu teman atau makhluk hidup itu, tergolong nakal, ya?" tanya Ardan yang masih mencoba mengganggu Lilyn.

Tangan Aura sempat berhenti bergerak ketika Ardan memanggilnya dengan embel-embel 'bunda'. Ada yang berdesir di dalam dirinya. Ketika ia menatap Ardan, nyatanya pria itu tersenyum dan menampakkan ekspresi santai, seolah pria itu sangat terbiasa memanggilnya begitu.

"Bunda, Lilyn anak yang baik, 'kan?"

"Iya, Sayang. Lilyn anak yang baik." Aura meletakkan cumi-cumi dan menatap Lilyn cukup intens, tetapi penuh kelembutan. "Tapi Papa juga benar. Mengganggu orang lain, binatang, tumbuhan, atau merusak benda-benda juga tidak baik. Hanya anak nakal yang melakukan hal itu."

"Nah, jadi Lilyn masih mau ganggu cumi-cumi hidup?"

Lilyn menggelengkan kepala sembari menautkan tangannya di depan dada. Bibirnya sudah ia manyunkan dan ekspresinya berubah sendu. "Nggak, Pa."

"Bagus." Ardan mengusap puncak kepala sang putri, kemudian mencium keningnya. "Ini baru anak papa yang baik."

"Tapi Bunda iris-iris cumi-cumi. Berarti Bunda nakal?"

Ardan dan Aura saling melempar tatapan dan tersenyum bersamaan. Bahkan, Ardan nyaris tertawa. Sungguh, ia tidak menyangka akan memiliki anak sekritis Lilyn ini. Dan ketika ia kembali menatap Lilyn, putrinya itu sudah menatapnya dengan sorot penuh tanya.

"Bunda Aura nggak nakal, Sayang. Cumi-cuminya sudah disembelih dan memang akan dimasak. Nanti kalau nggak diiris-iris sama Bunda Aura, Lilyn gimana makan cumi-cuminya?"

Becoming Stepmother ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang