Bab 18

24.2K 1.7K 28
                                    

Lilyn berjalan sembari melompat-lompat. Senyumnya tak memudar sejak ia meninggalkan rumah bersama sang ayah dan sang calon ibu tiri. Lalu, rambutnya yang dikucir dua melambai ke kiri dan ke kanan. Seolah, ia tengah membintangi iklan shampo. Dan Ardan tersenyum bahagia melihat kebahagiaan di wajah putri tercinta. Ardan pun tak melupakan sosok yang menggandeng sang putri. Ia menatap Aura dan melempar senyum lembut ketika wanita itu menoleh ke arahnya. Namun, momen beradu pandang dari keduanya terputus saat ponsel Ardan bergetar. Kemudian, mereka berhenti. Ardan meminta izin pada Aura untuk menerima panggilan dan dibalas anggukan. Sesingkat itu interaksi mereka sebelum Ardan berpindah fokus, sedangkan Aura menoleh saat Lilyn mendongak dan menatap dirinya.

"Mama Aura, suka udang?" tanya Lilyn ketika Ardan melepas tangan mungilnya dan berjalan sedikit menjauh.

"Suka. Kenapa, Sayang?"

"Itu enak ya, Ma?"

Aura mengikuti arah jari telunjuk Lilyn. Ada sebuah tempat makan yang menyuguhkan menu seafood. Gambar udang dan kepiting memenuhi platform di dekat tempat makan itu. Lalu, Aura berkata, "Lilyn kalau makan udang gatel-gatel, nggak?"

"Nggak. Mama Aura suka gatel-gatel ya kalau makan udang?"

"Nggak juga. Lilyn mau makan itu?"

Lilyn tersenyum dan mengangguk antusias.

"Tapi itu mahal, Sayang."

"Yah..." kepala Lilyn tertunduk lesu dan bibirnya maju beberapa senti. Tanpa ditelaah pun, Aura langsung tahu suasana hati anak itu saat ini.

"Kenapa, Sayang? Kok manyun?" Ardan masuk ke dalam obrolan. Tangannya mengusap kepala Lilyn, dan tangan satunya ia gunakan untuk menyimpan ponselnya ke saku. "Katanya mau jadi anak baik kalau pengen Kak Aura jadi mamanya Lilyn. Tapi kok sekarang udah mulai ngambekan?"

Aura jongkok dan meraih kedua tangan Lilyn. Ia tersenyum lembut sebelum memberikan penjelasan. "Besok kita beli mentahnya dan masak di rumah ya? Nggak usah beli. Mahal, Sayang."

"Mama yang masak?" mata Lilyn mendadak berbinar dan penuh harap. Mendadak pula Ardan takut melihat hal itu. Bagaimana tidak, putrinya memiliki harapan besar pada sosok Aura, padahal ia dan Aura belum resmi menikah. Tidak ada yang tahu jalan hidup ke depannya bagaimana.

"Iya, Sayang. Nanti Lilyn bantuin ya?"

"Kamu bisa masak seafood, Ra?"

Senyum Aura terbit. Ia tidak merasa ada nada meremehkan dari pertanyaan yang Ardan lontarkan tadi. Bahkan, lebih terdengar seperti nada keterkejutan bercampur kekaguman. "Tidak begitu bisa, Mas. Tapi aku coba aja," balas Aura yang sudah bisa ber-'aku-kamu' dengan Ardan setelah dua minggu berlalu pasca kepulangan mereka dari makam Wyna.

"Makasih ya?"

"Untuk apa, Mas?"

Mereka mulai berjalan. Dan Ardan menoleh. "Untuk semua hal yang kamu lakukan. Kamu selalu mau mencoba dan berusaha."

"Kok Papa sama Mama nggak manggil Papa-Mama kayak Papa sama Mamanya teman-teman Lilyn?"

Aura tersenyum canggung dan ia langsung menunduk. Berbeda halnya dengan Ardan yang kini tersenyum lebar, kemudian mencuri pandang ke Aura. "Nanti kalau Papa sudah menikah dengan Kak Aura, Papa panggil Kak Aura jadi Mama."

"Kapan Papa sama Mama Aura nikah?"

"Nanti, Sayang."

"Nanti? Kapan, Pa? Senin? Selasa? Rabu? Kamis? Jumat? Sabtu? Minggu?"

"Ah iya, Lilyn mau makan apa, Sayang?" Aura mencoba membantu Ardan. Karena ia tahu, Ardan sudah bingung mencari jawaban.

"Pizza."

Becoming Stepmother ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang