Bab 8

25.9K 1.8K 65
                                    

"Kamu tuh anak perempuan! Minggu kemarin udah dibiarin main sampai pulang larut, eh nggak nyadar-nyadar! Sekarang malah diulangi. Otak kamu tuh digunain buat mikir, nggak?! Mana harga diri kamu sebagai perempuan? Nggak malu sama tetangga? Dipikirnya kayak gitu bagus? Kalau tetangga tahu kamu pulangnya dianter sama laki-laki beranak satu dan tanpa istri, mau taruh mana muka Ayah sama Ibu? Mereka pasti mikir kamu itu lagi ngerebut laki orang!"

Aura membuang napas panjang dan segera berdiri. Ia sudah jengah. Ia sadar jika ia salah sudah pulang larut, tetapi ego di dalam dirinya tidak bisa diajak berkompromi lagi. Ia belum bisa menunduk dan menurut saja perintah dan larangan yang ayahnya berikan.

"Yah, yang penting aku sama Pak Ardan nggak ngapa-ngapain. Kita jalan di tempat umum, nggak di tempat sepi apalagi kamar. Ada anaknya juga. Dan tolong, Ayah jangan kolot kayak gitu. Orang-orang pasti juga langsung mikir kalau Pak Ardan itu duda. Mana ada selingkuh bawa-bawa anaknya?" Aura terisak sambil menjelaskan hal itu. Tangannya tanpa henti menyeka air matanya yang menetes deras.

"Kalau dikasih tau orangtua itu didenger! Bantah terus!"

"Yah, Aura udah dewasa. Tolong, Aura juga pengen kenal sama cowok. Keyra aja udah berkali-kali pulang malam bahkan lebih malam dari aku. Dia juga sudah berkali-kali kepergok lagi jalan sama cowoknya. Terus kenapa aku nggak boleh deket sama cowok?"

Ayahnya sudah berkacak pinggang dan menatap Aura dengan tatapan tajam. "Keyra main! Beda sama kamu! Dia juga masih kecil, besok juga berubah."

"Ayah yakin cuma main? Ayah lihat?"

Bibir Aura sudah bergetar hebat. Ini kali pertama ia membantah ayahnya sambil menangis tersedu seperti ini. Biasanya ia memilih diam setelah sedikit beradu mulut dengan ayahanda tercinta.

"Aura!"

"Ayah juga yakin Key bakal berubah?" Aura menghentikan ucapannya untuk sejenak menelan saliva yang seolah menghalanginya untuk bicara lebih banyak. "Kenapa Ayah punya keyakinan penuh buat Key tapi nggak buat Aura? Sejak Aura sekolah, kuliah, bahkan sekarang sudah lulus, Aura dimarahin habis-habisan kalau deket sama cowok. Atau, malah Ayah ngejauhin dan ngediamin Aura seolah Aura bikin aib di keluarga. Apa Aura pernah bikin kesalahan yang bikin Aura nggak bisa dipercaya? Apa Aura anak nakal yang gampangan sampai Ayah ngejauhin Aura dari cowok-cowok?"

Ayah Aura terdiam. Tak menyangka jika putri pertamanya yang tergolong pendiam akan memberontak seperti ini.

"Ya udah kalau nggak mau dengerin omongan baik dari orangtua. Kalau mau pulang malam lagi ya monggo, kalau ada apa-apa nggak ikutan nanggung. Kalau mau nggak tahu malu sambil nempel laki-laki, ya sana. Ada apa-apa tanggung sendiri," ucap ayah Aura dengan suara pelan dan datar.

"Aku sama Pak Ardan juga nggak pacaran, Yah. Kita bahkan nggak pegangan tangan atau lebih. Kenapa Ayah selalu mikir yang buruk-buruk tentang aku?"

Posisi mereka masih sama seperti tadi. Aura yang berdiri di samping tempat tidur dan ayahnya yang berdiri di depan pintu.

"Kamu itu yang bakal gantiin Ayah sama Ibu buat tanggung jawab ngebesarin Keyra! Harusnya kamu fokus kerja. S2 juga! Kalau udah deket sama laki, semuanya berantakan!"

Tanpa sadar tangan Aura sudah di depan dadanya. Meremas kemeja di depan dadanya dengan erat. Ia tidak lupa dengan amanah ini dan sejujurnya ia sangat ingin mengatakan isi pikirannya sejak lama. Kini, ia masih menahannya. Namun, dorongan itu kuat hingga mampu membuat tubuhnya gemetar.

"Jadi Ayah nyuruh Aura jadi perawan tua? Nyuruh Aura nunggu sampai Keyra nikah baru Aura nikah? Yah... jarak umur Keyra sama Aura 8 tahun! Nanti, kalau Keyra 20 tahun aja Aura udah 28. Tanggung jawab Aura gede banget, Yah. Walau Aura nanti nikah, Aura juga nggak sembarang nikah kok. Aura bakal bilang ke calon suaminya Aura kalau mau sama Aura, anggep aja Aura janda beranak satu. Kalau mau sama Aura, dia harus sepaket dan tanggung jawab juga sama Keyra."

Becoming Stepmother ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang