Bab 15

27.6K 2K 64
                                    

"Jangan menangis di depan orang lain. Ayah atau ibumu sekali pun."

Kali ini Aura mendongak dan menatap Ardan dengan penuh keberanian. Ia hanya ingin mendengarkan kalimat itu sekali lagi. Tidak, ia sangat ingin mendengarkan kalimat itu diucapkan berulang kali ketika dirinya tersesat oleh pemikiran rapuhnya. Kemudian, matanya mengerjap kala kedua tangan Ardan bergerak untuk menghapus air matanya.

"Tapi menangislah di hadapanku. Berbagilah segalanya denganku."

Bibir Aura bergetar dan matanya semakin basah. Pertentangan hatinya pun seolah tersingkirkan dengan sentuhan lembut setiap tutur kata Ardan yang seperti oase. Ya, orang seperti ini yang ia butuhkan. Dia yang mampu menghipnotis Aura, bahkan mampu menepikan keraguan dalam hatinya.

Hal mengejutkan kembali Aura terima. Ardan menarik tubuh Aura dan memeluknya. Tidak erat, tetapi lembut. Tidak tersalur nafsu menggebu-gebu, tetapi penuh kehati-hatian. Dan Aura dengan lepasnya menangis tergugu dalam pelukan itu. Ia melupakan akibat dari air matanya pada kemeja yang Ardan kenakan. Bahkan, ia melupakan harga dirinya yang selama ini ia jaga. Ya, Aura menganggap melakukan kontak tubuh seperti berpelukan, berciuman, dan sejenisnya pada pria yang belum sah menjadi suaminya, merupakan hal yang akan menjatuhkan harga diri.

Selama berpelukan itu, Ardan hanya mengusap punggung Aura tanpa ada niatan untuk kembali berbicara. Ia hanya ingin Aura tenang. Juga, bagi Ardan, ia tidak akan menyampaikan kalimat apa pun. Semuanya sudah cukup. Sampai akhirnya, pelukan keduanya terlepas. Entah siapa yang mulai melepaskannya. Tetapi Ardan tidak membiarkan Aura begitu saja setelah itu. Tangannya kembali ia gunakan untuk menghapus air mata Aura, bahkan ingus Aura yang sempat Aura tutupi.

"Tidak apa-apa," ucap Ardan saat Aura berniat mengelak usapan tangannya pada air mata bercampur ingus.

"Tidak ada tisu ya? Maaf ya, Pak, saya jorok sekali."

"Tidak. Bagian mana yang jorok?" Ardan tersenyum, senyum yang Aura lihat ketika Ardan berinteraksi dengan Lilyn. "Bagian ingus? Tidak jorok sama sekali."

"Pak Ardan..."

"Apa kita tidak mengubah cara komunikasi kita? Atau kamu nyaman dengan interaksi formal?"

Aura mengernyit. "Maksud, Pak Ardan?"

"Sebenarnya, saya ingin kita mulai berinteraksi layaknya pria dan wanita yang mencoba memahami satu sama lain. Saya ingin dipanggil tanpa embel-embel 'Pak' dan saya juga ingin memanggil kamu dengan nama saja."

Aura menganga. Tak lama, ia menganggukkan kepalanya dengan pelan dan cukup ragu. Walau begitu, pikirannya masih berjalan dengan baik. Logika dan normalnya untuk sebuah hubungan memang seperti itu. Interaksi mereka memang terlalu formal.

"Ya. Sepertinya memang lebih baik begitu, Pak. Eh... saya jadi bingung mau panggil gimana."

"Terserah kamu saja, Aura."

Tanggapan Aura hanya sebuah senyuman. Ia merasa aneh sendiri. Terasa ganjil saat aku memanggilnya Mas Ardan. Rasanya, lebih cocok Pak Ardan saja. Tapi... beliau ingin hubungan yang santai.

"Ya sudah, ayo minum obat." Ardan yang merasakan kecanggungan Aura, mulai mengubah topik bahasan. Tangannya dengan cekatan mengambil dan menyiapkan obat untuk Aura. Bahkan, dia juga membantu Aura meminum obat. Setelah semuanya beres, Ardan menatap jam tangannya. "Sepertinya saya harus kembali ke kantor. Obat ini menyebabkan kantuk, kan?"

"Sepertinya begitu. Lebih baik Pak Ardan segera kembali ke kantor saja daripada nanti terlambat."

"Saya tunggu setelah kamu tidur," ucap Ardan yang kemudian menaikkan selimut sampai menutup perut Aura.

Becoming Stepmother ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang