Aura duduk termenung setelah mendapat balasan dari Keyra yang tidak ingin ia balas lagi. Baginya, informasi yang ia berikan sudah cukup jelas. Ia menerima lamaran Ardan dan juga meminta adiknya untuk bersikap sopan. Namun, hati kecilnya tetap memaksa Aura untuk menatap layar ponsel yang kini terus menyala dan bergetar. Selain pesan beruntun dari adiknya, banyak pesan dalam grup, pesan dari muridnya, dan dari teman-temannya. Aneh, pikir Aura. Ia tidak memublikasikan tentang kondisinya dan hanya beberapa orang yang tahu posisinya sekarang.
"Dokter udah izinin pulang. Tapi nanti siang."
Aura refleks melongok ke penghuni sampingnya yang kini berseru girang. Penghuni di sampingnya itu adalah seorang wanita yang menurut Aura, berada di kisaran usia yang sama dengannya. Namun, ada rasa iri yang menekan dada Aura. Wanita penghuni ranjang sebelah selalu ditunggu oleh sanak saudara. Berbeda dengannya yang pagi ini harus berjalan ke kamar mandi sendiri sampai membuat darahnya naik ke selang infus. Kemudian, ia harus meminta tolong petugas pengantar makanan untuk memanggilkan perawat karena tombol darurat di dekatnya tidak berfungsi. Setelah itu, drama masih berlanjut. Ia harus menikmati rasa sakit saat perawat yang datang cukup terlambat itu harus keluar lagi mengambil botol cairan karena miliknya sudah hampir habis. Sialnya, perawat itu benar-benar lamban sampai akhirnya Aura menyaksikan darahnya kembali naik ke selang infus dan lebih tinggi dibanding sebelumnya. Dan yang terakhir, Aura akhirnya mengalah dengan egonya. Ia menangis sembari menikmati sarapannya. Kesepian, sendiri, kosong, itulah yang ia rasakan saat ini.
"Bu, pulang nanti masak makanan kesukaan ya? Aku kangen sama masakan Ibu."
Selesai sarapan, Aura kembali menangis. Ia mendengar kalimat itu dengan jelas dan hal itu memancing sisi melankolisnya. Mendadak, ia merindukan ibunya. Walau ia jarang—nyaris tidak pernah—memeluk ibunya, tetapi Aura benar-benar ingin ibunya berada di dekatnya. Namun, yang ia dapat hanyalah dirinya sendiri sembari mendengarkan obrolan pasien tetangga dan getar ponselnya.
Menyadari getaran yang sangat lama dan tak berjeda, Aura meraih ponselnya. Nama 'Pak Ardan' tertera jelas di layar ponselnya. Astaga... Aura menyentuh dadanya. Tak lama, ia menerima panggilan itu dan mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam. Mbak Aura sudah sarapan dan minum obat?" Suara Ardan terdengar jelas di telinganya. "Maaf saya mengganggu waktu istirahat Mbak Aura."
"Sudah, Pak." Aura menghela napas panjang, tetapi ia tak lupa untuk menjauhkan ponselnya sesaat. "Tidak mengganggu. Bahkan saya merasa bosan."
"Nanti saat jam makan siang saya ke sana, boleh?"
"Tentu saja, Pak, jika tidak merepotkan."
"Tidak sama sekali. Oh iya, ingin dibelikan apa?"
"Tidak, Pak, terima kasih." Aura tersenyum masam. Rasanya, hubungannya dan Ardan benar-benar kaku dan sangat formil. Pertanyaan tentang hubungan mereka ke depannya segera mengiang di kepalanya. Namun, hal itu tak bertahan lama. Aura teringat sesuatu. "Pak, apa benar Pak Ardan yang membayar biaya study tour Keyra?"
Ada jeda sebelum Ardan menjawab. Sepertinya pria itu tampak menimang-nimang jawaban agar tidak menyinggung perasaan Aura. "Iya, Mbak. Kebetulan hanya sedikit. Tapi maaf, tadi saya meminta salah satu teman untuk ke sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Becoming Stepmother ✅
General Fiction"Aura, maukah kau menjadi ibu pengganti untuk Lilyn?" Aura Nerissa Jasmine tertegun mendapati dirinya dilamar oleh seorang duda beranak satu. Hal yang menohok hatinya adalah, lamaran tanpa kata 'cinta' dari pihak laki-laki. Namun, tatapannya berp...