Dari kelasnya yang berada di lantai dua, Gita berjalan tergesa menuju ruang musik yang berada di sudut lain sekolah seluas dua hektar itu. Sebelumnya, adik kelasnya, Bintang, datang ke kelasnya dan menyampaikan pesan dari Pak Bowo untuk datang ke ruang musik pada jam istirahat. Sayangnya, Gita masih mengerjakan soal ulangan harian fisika yang tentunya tidak bisa dikerjakan dengan cepat. Rok rempel tiga yang sama sekali tidak membantu membuat langkahnya tak bisa leluasa. Jam istirahat sudah berlalu tujuh menit ketika akhirnya perempuan berambut sepundak itu sampai di depan ruang musik.
Pintu ruang musik yang terbuka lebar, membuat Gita makin bertanya saat mendapati wajah-wajah teman seangkatan yang ia kenali duduk melingkar di tengah ruangan. Menyandarkan pundak kanannya pada pintu, Gita melepas satu per satu sepatu yang melekat di kedua kakinya. Seseorang memasuki ruangan dan tanpa sengaja menyenggol pundak Gita. Sementara Gita yang hanya berdiri dengan kaki kanannya mendadak kehilangan keseimbangan.
"Aduh!" pekik Gita yang langsung memijakkan kaki kanannya di lantai supaya tidak terjatuh.
Punggung lelaki yang baru saja memasuki ruangan itu langsung berbalik, "Sor- Lo!" serunya begitu menyadari siapa lawan bicaranya itu.
Semua yang hadir di ruangan itu pun menoleh ke sumber keributan. Mereka menghela napas mengetahui tabiat Gita dan Ezra yang memang selalu ribut.
Gita mendongak tak terima diteriaki, "Lo ngapain di sini?"
"Ya, suka-suka gue, lah." lelaki bertubuh jangkung itu langsung melanjutkan langkahnya memasuki ruangan.
Gita mendengus kasar sambil merapihkan sepatunya di depan pintu sebelum akhirnya mengucap salam, "Assalamu'alaikum."
"Ini udah beres atau emang belum mulai?" tanya Gita yang memilih duduk di sebelah Faza ketika ia tidak menemukan kehadrian Pak Bowo.
Perempuan berambut sebahu itu menggeleng, "Pak Bowo masih di ruangannya, kok."
Ruang musik yang biasa disebut ruang AVI oleh warga sekolah itu memiliki dua ruangan lagi di dalamnya, ruang kerja Pak Bowo dan ruang multimedia. Ruangan lapang di mana Gita dan teman-temannya duduk melingkar itu adalah ruangan utama berisi berbagai macam alat musik yang cukup lengkap dan dilapisi karpet biru. Ketika memasuki ruangan, di sebelah kiri ruangan terdapat lemari berisi piala penghargaan dan foto-foto alumni. Kemudian di depan ruangan Pak Bowo terdapat perlengkapan syuting, seperti lampu, tripod, dan semacamnya. Di sebelah ruangan Pak Bowo ada ruang multimedia yang sering digunakan untuk rekaman lagu tema pentas seni sekolah mereka. Sementara di sebelah kanan ruangan, ada drum, piano, gitar, dan alat musik lainnya.
"Udah dateng semua, kan?" Pak Bowo keluar dari ruangannya bersama anak didik kesayangannya, Ezra.
Gita dan yang lainnya bergeser meluangkan tempat untuk Pak Bowo yang ikut duduk di atas karpet. Gita dan Faza duduk tepat berhadapan dengan Pak Bowo. Di sebelah Gita, duduk Adrian, Mada, dan Alfa. Sementara di sebelah Faza, ada Gio, dan Ezra. Ya, hanya Gita dan Faza yang perempuan di ruangan itu. Dan mereka semua sama-sama tidak tahu apa alasan mereka dikumpulkan di sini.
"Langsung aja, ya." buka Pak Bowo yang langsung dibalas anggukkan oleh anak-anak didiknya, "Bapak ngumpulin kalian di sini karena Bapak mau minta bantuan kalian untuk proyek terakhir Bapak."
Tahun ini adalah tahun terakhir Pak Bowo mengajar. Beliau akan pensiun bersamaan dengan lulusnya angkatan 19.
"Memangnya Bapak mau buat proyek seperti apa?" tanya Adrian.
"Band aja. Bapak mau kita kerja sama ngembangin band-nya bareng-bareng." jelas Pak Bowo.
Pantas saja. Anak-anak yang Pak Bowo di ruangan ini memang memiliki keahlian yang berbeda dalam bidang musik. Gita yang memang sebelumnya cukup aktif di paduan suara tentu akan dijadikan vokalis oleh Pak Bowo. Mada mahir bermain piano. Alfa menguasai alat music biola. Gio bermain alat music saxophone. Adrian juga ahli dalam alat musik perkusi. Faza dan Ezra juga sama-sama bermain gitar. Karena mereka sudah kelas 12, mereka sudah tidak aktif lagi di dalam Rumah Seni 2.
Rumah Seni 2 adalah gabungan dari beberapa ekstrakurikuler seni yang ada di sekolah, di antaranya angklung, ansambel, perkusi, paduan suara, tari, teater, multimedia, grup musik, vocal group, dan Himpunan Seni Rupa (HSR). Rumah Seni 2 berdiri sejak tahun 1995 dan dibimbing oleh Pak Bowo. Setiap tahun ajaran baru, ada pendaftaran anggota baru yang kemudian diresmikan sebagai anggota melalui acara yang dikenal dengan Inaugurasi.
"Bukannya udah ada Mahesa, ya, Pak?" tanya Mada menyebutkan nama band sekolah mereka.
Pak Bowo tersenyum, "Kalian berbeda. Enggak akan ada pergantian anggota band seperti Mahesa. Kalian akan tetap jadi anggota band sampai seterusnya."
Saat itu juga, tujuh kepala yang sama sekali tidak menduga akan dijadikan dalam satu band itu sibuk dalam pikiran masing-masing. Ada yang masih bingung dan ada juga yang sudah langsung memikirkan konsep band yang dibentuk secara mendadak itu. Tanpa suara dan begitu canggung.
Sementara Pak Bowo hanya tersenyum melihat anak-anak didiknya itu, "Jam istirahat sebentar lagi selesai, kalian bisa kembali ke kelas masing-masing. Sepulang sekolah, kita kumpul lagi."
Dengan begitu, satu per satu meninggalkan ruangan untuk kembali ke kelas masing-masing. Tidak dengan Gita yang masih bertahan di ruangan dengan perasaan campur aduk. Dari sekian banyak anggota paduan suara, vocal group, dan vokalis band yang ada di sekolah, Pak Bowo memilihnya. Walaupun aktif, ia sedikit ragu apakah Pak Bowo mengingat dirinya atau tidak. Ada rasa takut jika dirinya tidak bisa memberikan yang maksimal dalam menjalani ini. Dengan kegamangan, Gita menghampiri Pak Bowo yang sudah ada di dalam ruang kerjanya.
"Loh, kamu belum balik ke kelas?" tanya Pak Bowo begitu mendapati Gita berdiri di depan pintu ruangan.
"Saya mau tanya sesuatu, Pak." balas Gita.
Pak Bowo mengangguk mempersilahkan Gita untuk memberikan pertanyaan.
"Bapak yakin milih saya untuk gabung sama band ini?" tanya Gita.
Pak Bowo memasang senyum yang mampu menenangkan lawan bicaranya kemudian mengangguk, "Gitarra Melody Ava. Bapak percaya kamu bisa."
Akhirnya aku kembali dengan keadaan yang lebih baik tentunya. Aku salah dan aku belajar dari situ. Jujur, ada rasa kosong waktu aku enggak menulis dan ketika kembali, aku malah enggak tau gimana memulainya. Terima kasih sudah mau menunggu. Aku harap aku bisa aktif menulis lagi ke depannya.
Sedikit cerita, draft cerita ini, tuh, udah ada sejak 2017. Ya, tahun yang sama dengan 294 Days dipublikasikan untuk pertama kali.
Love, Sha.
07/07/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Acoupella
Teen FictionCharets Love Story #3 [COMPLETED] Menggabungkan beberapa kepala menjadi satu bukanlah perkara yang mudah. Berkat guru seni musik mereka, Gita, Ezra, Faza, Adrian, Mada, Gio, dan Alfa harus bisa berdamai pada satu sama lain. Acoupella, tempat di mana...