-22-

138 29 1
                                    

Tak terasa, semester ganjil sudah berakhir. Artinya, hanya tersisa beberapa bulan lagi siswa kelas 12 akan lulus dari bangku SMA. Dan hari ini, seluruh siswa menerima laporan hasil belajarnya masing-masing, termasuk Ezra. Lelaki itu memilih bergabung bersama teman-temannya di kantin bawah, disaat sang ibunda berada di kelasnya untuk mengambil rapornya. Walaupun Ezra terkesan tidak peduli dengan nilai akademiknya, namun nyatanya lelaki itu selalu memegang peringkat tiga besar di kelasnya. Selain bermusik, rupanya Ezra juga dianugerahi otak yang cerdas.

Mendapat pesan singkat dari sang ibu yang sudah menunggunya di parkiran mobil, Ezra beranjak dan berpamitan pada teman-temannya, "Gue duluan."

Gita yang mendapati Ezra beranjak dari meja panjang yang berada di ujung kantin pun menoleh. Lelaki itu nampak terburu-buru meninggalkan kantin. Kembali menyesap green tea dari dalam gelasnya, Gita mencoba tidak memedulikan raut cemas yang tak sengaja ia temukan di wajah lelaki itu.

Begitu sampai di gerbang, Ezra mendapati sang ibu sudah berada di dalam mobil. Ia langsung melangkah menuju di mana mobil ibunya terparkir dan duduk di kursi penumpang. Tidak. Ia tidak akan pulang ke rumah karena ibunya akan kembali ke rumah sakit. Duduk di samping ibunya, Ezra hanya diam menunggu sang ibu berbicara. Buku rapor yang baru ia terima dari sang ibu juga belum ia buka. Bagi keluarganya, akademik adalah yang nomor satu dan bermain musik adalah hobi yang hanya membuang-buang waktu.

"Turutin kemauan Papa, ya, Nak." Dewi, sang ibu, akhirnya bersuara.

Ezra pun langsung membuka buku rapornya. Terakhir kali bertengkar cukup hebat dengan ayahnya karena ketahuan kembali bermain musik, Ezra membuat kesepakatan. Jika nilai rapornya naik kali ini, ia diperbolehkan tetap bermain musik. Melihat lembaran berisi nilai semester ini, Ezra tidak yakin apakah ayahnya tetap mengizinkan dirinya bermain musik atau tidak. Bahkan peringkat tiga besar sudah tak lagi dimilikinya. Walaupun sang ibu ak sekeras ayahnya, kali ini Dewi sudah tidak bisa berbuat apapun karena begitulah kesepakatan yang putranya ajukan pada sang suami.

"Kamu bilang, kamu bisa seimbangin kegiatan bermusik kamu sama akademik. Tapi mana buktinya? Kalo nilai kamu kayak gini, kamu tinggalin band kamu." ucap Surya membaca laporan hasil belajar anaknya.

"Pa, Ezra mohon izinin Ezra tampil untuk terakhir kalinya di F2WL." mohon Ezra malam harinya ketika Surya, sang ayah, sudah kembali dari rumah sakit.

Surya yang menatap putranya sedang memohon, menghela napas berat, "F2WL untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu, enggak ada lagi main band. Kamu harus fokus belajar supaya masuk PTN." buku rapor yang sebelumnya ia genggam sudah kembali di atas meja belajar.

Ezra yang terduduk di atas kasur hanyamengangguk patuh, "Iya, Pa."

Surya keluar dari kamar Ezra dan menutup pintu pelan. Walaupun begitu, Ezra yakin ayahnya sedang menahan emosi. Lelaki yang terduduk di atas kasur itu terdiam cukup lama. Ia marah tapi ia juga tidak tahu harus menyalahkan siapa. Selama ini, Ezra sudah terlalu sering menentang kedua orang tuanya karena ia pikir hidupnya adalah pilihannya. Setelah pertengkaran cukup besar beberapa bulan yang lalu, Ezra berubah menjadi penurut hanya karena tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya.

Merebahkan tubuhnya di atas kasur, Ezra membuka ponselnya yang beberapa kali berbunyi. Ditatapnya ruang obrolan Acoupella di layar ponselnya yang tak pernah sepi beberapa hari terakhir ini. Ia teringat janjinya untuk bertahan dengan Acoupella seterusnya. Namun dalam situasi seperti ini, ia tidak tahu lagi bagaimana cara menjelaskan semuanya pada teman-temannya itu, terutama Gita. Perempuan yang menarik perhatiannya sejak kelas 10 itu tampak begitu antusias bersama Acoupella dengan wajah cerianya. Rasanya, Ezra tidak ingin melihat wajah itu kembali kecewa.

"F2WL bakal jadi yang terakhir buat gue." Ezra membuat teman-teman satu band-nya yang sedang membicarakan rencana Acoupella ke depannya mendadak terdiam. Ia bisa merasakan keterkejutan di balik wajah datar teman-temannya itu.

Siang itu, Ezra dan yang lainnya sedang berkumpul di rumah Mada untuk melanjutkan mengaransemen lagu-lagu lain yang akan mereka bawakan di F2WL sambil mengobrol banyak hal. Mendengar Ezra yang tiba-tiba mengucapkan kalimat yang cukup mengejutkan setelah banyak diam, tentu Gita dan yang lainnya cukup terkejut. Lelaki yang kemarin sangat bersemangat untuk melanjutkan hobi bermusiknya tak peduli apapun yang akan terjadi, tampak bimbang dengan kalimatnya sendiri.

"Gue enggak akan lanjut main musik setelah F2WL bareng Acoupella atau enggak." tambah Ezra karena teman-temannya masih tak memberi tanggapan apapun.

"And are you okay with that?" tanya Gio yang duduk tak jauh dari Ezra.

Ezra menggeleng pelan, "Gue udah janji sama bokap."

"Kalo itu emang keputusan yang lo ambil, kita bisa apa Zra." Adrian yang sama-sama duduk di atas sofa bersama Ezra menepuk pundak lelaki itu.

Di antara teman-temannya yang tak memaksa Ezra untuk melanjutkan mimpi bermusiknya, Gita memiliki pemikiran berbeda. Perempuan yang duduk di dekat mixer itu tahu seberapa besar Ezra mencintai musik. Selama ini, Ezra belum memberikan sepenuh hatinya untuk Acoupella. Masih ada keraguan di balik pemilik bola mata hitam itu. Jika saja Ezra benar-benar yakin dengan bakat bermusiknya, Gita yakin lelaki itu bisa memberikan karya yang luar biasa.

Dengan keyakinan itu, Gita berniat membantu Ezra. Mendapat alamat rumah Ezra dari Gio, Gita pun pergi ke sana ketika ia tahu lelaki itu sedang tidak ada di rumah. Hari Sabtu kali ini, latihan di rumah Mada memang ditiadakan karena Ezra, Mada, dan Adrian mendapat kesempatan untuk tampil sebagai bintang tamu di pertunjukan teater. Dengan jantung berdebar cepat, Gita mengetuk pintu rumah bernomor 67 itu. Tak menunggu lama, seseorang membukakan pintu untuknya. Gita yakin, wanita paruh baya yang baru saja membukakan pintu untuknya itu adalah ibu Ezra.

"Siang, Tante." sapa Gita.

"Siang. Maaf, cari siapa, ya?" tanya Dewi, wanita paruh baya yang mengenakan daster di hadapan Gita.

"Oh. Saya Gita, Tante. Temen satu band-nya Ezra. Saya datang ke sini karena ada yang mau saya obrolin sama Tante dan Om." Gita menjelaskan maksud kedatangannya dalam satu tarikan napas.

Dewi memasang senyum sebelum akhirnya mempersilahkan Gita masuk, "Tunggu sebentar, ya. Tante panggilin Om dulu. Kamu mau minum apa?"

"Apa aja, deh, Tante." balas Gita yang memilih duduk di sofa panjang.

Dewi ternyata tidak semenyeramkan yang Gita bayangkan. Wanita yang melahirkan Ezra ke dunia itu memiliki senyum yang dapat membuat orang di sekitarnya merasa tenang. Pria paruh baya yang Gita yakini adalah ayah Ezra bergabung bersamanya di ruang tamu, membuat Gita yang awalnya tenang kembali merasa gugup. Surya yang mengenakan pakaian santai tetap terasa mengintimidasi bagi Gita. Beruntung karena Tante Dewi juga ikut bergabung dengan tiga cangkir teh tak lama kemudian.

"Diminum, ya, Om, Tante." izin Gita sebelum menyeruput teh hangat itu.

"Iya, silahkan." balas Dewi yang kemudian memperkenalkan Gita pada suaminya, "Gita ini teman satu band-nya Ezra, Pa."

"Lalu? Ada urusan apa kamu ke sini?" tanya Surya.

Gita meneguk ludahnya dengan susah payah, "Om, Tante, sebelumnya saya mau minta maaf kalo saya terlalu ikut campur. Saya tau kalo Om dan Tante kurang mendukung Ezra bermain musik, Ezra emang cerita ke kami. Untuk itu, saya mau ngajak Om dan Tante nonton penampilan terakhir Ezra di F2WL nanti. Saya akan kirim tiketnya ke sini. Gimana?"

"Gita? Lo ngapain di sini?" suara Ezra tiba-tiba terdengar dari arah pintu masuk.

Lanjut di part berikutnya ya.

Enjoy!

Love, Sha.

AcoupellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang