Sesuai dengan kesepakatan hari Rabu yang lalu, hari ini Acoupella berkumpul di rumah Mada selepas kegiatan keagamaan di sekolah. Di hari kerja seperti ini, rumah Mada memang kosong karena kedua orang tuanya bekerja dan kakak perempuannya sedang melanjutkan pendidikan sarjananya di Yogyakarta. Hanya ada Bi Yani, asisten rumah tangga di rumah Mada yang baru saja membawakan minuman dan makanan ringan ke ruang tengah. Beberapa kali berkunjung ke rumah Mada, tentu Bi Yani sudah akrab dengan mereka.
Alasan Mada mengundang teman-temannya ke rumahnya selain untuk mengerjakan proyek pertama mereka memproduksi sebuah lagu, lelaki itu juga ingin menunjukkan sesuatu pada teman-temannya itu. Selama latihan untuk tampil di Pra-Event 2, Acoupella memang hampir tidak pernah latihan di rumahnya. Maka ada sesuatu yang belum dilihat teman-temannya sebelumnya. Setelah mengisi perut, Mada mengajak teman-temannya untuk naik ke lantai dua. Kemudian mereka berhenti di sebuah pintu ruangan di mana mereka biasanya latihan.
"Wow..." pekik Gita begitu Mada membuka pintu ruangan yang kali ini tampak berbeda.
Bukan hanya Gita, anggota Acoupella yang lain pun takjub pada ruangan yang mereka masuki itu. Sebelumnya, ruangan itu hanyalah ruangan berlapis pengedap suara yang berisi beberapa alat musik milik Mada. Hampir dua bulan tidak berkunjung ke rumah Mada, ternyata banyak yang berubah dari ruangan itu. Sekarang, ruangan berukuran 4x5 meter itu benar-benar bisa disebut sebagai studio. Dengan adanya ruangan tambahan untuk studio rekaman yang tak begitu besar di dalamnya, sangat memungkinkan jika Mada memproduksi lagunya sendiri.
Studio di rumah Mada itu benar-benar ditata senyaman mungkin. Sebuah sofa berukuran besar yang diletakkan di salah satu sudut ruangan juga bisa memanjakan siapa pun yang datang. Parket yang digunakan untuk melapisi lantai pun membuat ruangan terasa lebih luas. Alat musik yang ada di ruangan bernuansa abu-abu itu pun sudah bertambah, seperti drum, amplifier, dan mixer. Walaupun ruangan AVI di sekolah memiliki instrumen-instrumen pendukung untuk meproduksi lagu, tentu saja studio milik Mada jauh lebih profesional.
"Lo emang enggak pernah setengah-setengah, Mad." celetuk Gio yang masih mengagumi studio milik Mada itu.
"Lo beneran mau jadi musisi, ya, Mad?" tambah Adrian.
"Keluarga gue emang pada dasarnya pecinta musik. Ya, walaupun Cuma buat dijadiin hobi." jelas Mada kemudian bertanya, "Jadi, gimana? Masih ragu buat bikin lagu sendiri?"
Semua menggeleng. Artinya, semua setuju untuk membawakan lagu mereka sendiri di panggung besar F2WL mendatang. Akan tetapi, kenyataan memang tak seindah bayangan. Menciptakan sebuah lagu memang tidak semudah itu, apalagi ada delapan kepala berbeda yang memiliki pendapat berbeda. Setelah diputuskan setiap orang mengembangkan idenya masing-masing, mereka pun bekerja berpencar di sudut ruangan yang berbeda. Namun hingga jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul tiga sore, masih belum ada yang menemukan titik terang.
"Gue cabut duluan, ya? Mau les." suara Faza menginterupsi kepenatan yang sedang dialami teman-temannya.
"Hati-hati, Faz." balas Adrian mewakili teman-temannya yang sepertinya sedang malas membuka mulut.
Faza pun beranjak dari duduknya, mengembalikan salah gitar milik Mada di tempatnya, kemudian mengambil tasnya dan meninggalkan ruangan. Gita yang sejak tadi memaksakan diri untuk fokus pun akhirnya beranjak dari tempatnya, meregangkan lengan. Terlalu lama duduk menatap layar laptop tentu membuat tubuhnya terasa pegal. Meraih kembali laptop yang ia letakkan di atas karpet, Gita berpindah tempat. Ditariknya salah satu kursi yang ada di ruangan itu ke meja yang terletak tepat di depan mixer. Mada juga berada di sana dengan headphone terpasang di kepalanya.
"Mad, gue mau minta tolong." pinta Gita menyentuh pundak Mada.
Mada menoleh, mengangkat kedua alisnya bertanya. Gita memberi isyarat dengan tangannya supaya Mada membuka headphone-nya.
"Kenapa?" tanya Mada setelah menaruh headphone-nya di atas meja.
"Gue sebenernya udah punya draf lagu. Tapi lo, kan, tau gue enggak ahli main musik. Jadi belum ada musiknya selain suara metronom." jelas Gita diakhiri dengan tawa pelan.
Mada tampak tertarik, "Coba gue dengerin."
Gita pun menyerahkan earphone yang tersambung dengan laptopnya pada Mada. Setelah Mada benar-benar memakai earphone-nya, Gita pun mengarahkan touch pad laptopnya pada tombol putar di layar. Suara Gita tanpa iringan musik itu pun Mada dengarkan selama kurang lebih hampir tiga menit. Lelaki itu tampak terlalu fokus sehingga Gita dibuat gugup sendiri. Ketika lagu selesai, Mada menekan tombol ulang. Berbeda dengan sebelumnya, Mada mendengarkan sembari menutup matanya. Jangan lupakan jari lelaki itu yang bergerak sendiri di atas meja. Gita berharap-harap cemas ketika Mada melepas earphone dari telinganya.
"Gita, lo itu jenius." hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulut Mada.
"Hah?" tanya Gita heran.
"Gue mau baca liriknya juga, Git." pinta Mada, tak menjawab keheranan Gita.
"Bentar, gue pisahin dulu dari yang lainnya. Gue malu, sumpah." Gita pun mengambil alih laptopnya kembali.
"Yang lainnya? Lo punya berapa banyak lirik, Git?" tanya Mada takjub.
Gita yang sedang fokus membuka folder di laptopnya pun menjawab, "Gue kalo lagi enggak ada kerjaan emang suka enggak jelas nulis kata-kata gitu. Nih, Mad. Lo liat yang ini dulu aja, ya."
Dokumen Microsoft Word berisi rangkaian kata dari lagu mentah milik Gita itu pun terlihat di layar laptop. Puisi yang Gita jadikan lirik lagu itu bercerita tentang seseorang yang merasa terjebak dalam suatu waktu ketika dunia di sekitarnya bergerak. Pilihan kata yang Gita gunakan memang sederhana, namun ternyata memberi efek nyata bagi Mada yang sedang membacanya itu. Makna di balik rangkaian kata itu bisa Mada pahami. Lelaki itu yakin bahwa kata-kata itu adalah cerminan dari diri Gita.
"Lo sendiri udah punya gambaran lagu ini maunya dikemas kayak gimana?" tanya Mada yang masih fokus pada layar laptop Gita.
Gita bergumam sebentar sebelum akhirnya menyuarakan isi kepalanya, "Jelas lo tau lagu ini temanya lambat. Dan satu suara yang muncul ketika gue coba nyanyiin lagu ini adalah suara piano."
"Hey, lo berdua lagi apa, sih? Asyik banget keliatannya." Adrian yang sudah berdiri di belakang Gita dan Mada menegur.
"Lo semua harus dengerin ini." Mada mengambil alih laptop Gita dan menyambungkannya pada speaker yang ada di studionya.
Semua yang ada di ruangan itu, termasuk Bianca dan Giselle, mendengarkan suara Gita yang terdengar merdu walaupun tanpa musik latar itu dengan seksama.
Giselle bertepuk tangan, "Keren banget! Téh Gita diem-diem ternyata jago bikin lirik."
"Oh, iya. Lirik jingle song PSP kelas lo, liriknya lo yang buat juga, kan?" tanya Adrian yang sempat mendengar kabar mengenai jingle song kelas Gita yang memenangkan kategori best jingle PSP Award angkatan mereka itu.
Gita hanya mengangguk pelan.
"Wah, luar biasa emang anaknya Tante Irina." tambah Gio menepukkan kedua tangannya.
Hal selanjutnya yang harus mereka lakukan adalah memberi aransemen lagu berjudul Gelapmu Telah Usai itu.
Setelah buku ini, lanjutin seri Charets Love Story atau mending publish chicklit? Dua-duanya udah ada di draft sih...
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acoupella
Teen FictionCharets Love Story #3 [COMPLETED] Menggabungkan beberapa kepala menjadi satu bukanlah perkara yang mudah. Berkat guru seni musik mereka, Gita, Ezra, Faza, Adrian, Mada, Gio, dan Alfa harus bisa berdamai pada satu sama lain. Acoupella, tempat di mana...