Bel tanda berakhirnya jam pelajaran berakhir berbunyi tepat pukul 15:15. Menurut data google form yang dibagikan oleh Ezra di grup angkatan untuk diisi, ada sekitar 20 peserta yang akan diaudisi sore ini. Gita dan teman-teman satu bandnya itu sepakat untuk melaksanakan audisi selepas salat ashar yang diadakan berjamaah di masjid sekolah. Gita dan Faza yang kebetulan sedang berhalangan untuk melaksanakan ibadah salat, serta Gio yang beragama non-muslim akhirnya memilih untuk menyiapkan AVI bersama.
"Git, lo sama Ezra kenapa enggak pernah akur, sih?" tanya Faza yang duduk di sebelah Gita.
"Lo enggak tau?" tanya Gio yang mencuri dengar takjub.
"Loh, emang lo tau?" tanya Faza pada Gio.
Gio menepuk dahinya jengah, "Hampir semua anak RS tau, sih."
Faza bingung dengan dirinya sendiri, "Kalo gitu, gue perlu tau, dong." ia menoleh pada Gita menuntut penjelasan, "Git, cerita."
Gita tersenyum kecil. Ingatan Gita kembali ke beberapa tahun yang lalu, tepatnya dua tahun yang lalu, saat dirinya dan Ezra masih sama-sama duduk di bangku kelas 10. Sebenarnya, alasan yang menyebabkan keduanya tidak bisa akur hanyalah karena insiden remeh. Saat itu, seluruh anggota baru Rumah Seni dikumpulkan di AVI. Hujan deras tak juga berhenti hingga berakhirnya pertemuan pertama mereka dengan para senior bahkan alumni di Rumah Seni. Di antara belasan orang yang meneduh di depan laboratorium fisika, hanya Gita dan dua orang lainnya yang membawa payung. Dulu, jalan menuju lobi dari laboratorium fisika tidak dipasang kanopi seperti sekarang.
Akhirnya disetujuilah payung milik Gita dan dua orang lainnya itu dipakai bergantian untuk menyeberangi jalanan yang diguyur hujan deras itu. Gita membiarkan teman-temannya untuk menggunakan payungnya terlebih dahulu sebelum dirinya. Dan orang terakhir yang meminjam payungnya, membiarkan benda itu tergeletak begitu saja di dekat tangga lobi adalah Ezra. Sepertinya lelaki itu tidak menyadari bahwa masih ada orang selain dirinya di sana. Beberapa kali Gita meneriaki lelaki yang belum ia ketahui namanya itu untuk membawa payung miliknya kembali. Tetap saja Ezra tidak menghiraukan kefrustasian Gita yang sudah sebagai si pemilik payung.
"Pantes aja gue enggak tau ceritanya. Lo lupa gue baru pindah ke Bandung kelas 11?" dumal Faza pada Gio.
Gita sama sekali tak mengeluarkan satu kalimat pun pada Faza sehingga perempuan itu akhirnya menuntut cerita dari Gio.
"Oh, iya bener." kekeh Gio.
"Terus ributnya di sebelah mana?" tanya Faza lagi.
"Lo tau kalo Gita itu barbar, kan?" Gio mengecilkan suaranya supaya Gita tak mendengar tapi rupanya upayanya mengecilkan suaranya sia-sia ketika sebuah pensil mendarat tepat di kepalanya, "Tuh, kan." jeda sesaat, "Nah, Gita emang udah barbar sejak kelas 10. Lo bisa tebak apa yang dia lakukan setelah itu?"
Faza yang mendengarkan cerita Gio dengan seksama menggeleng.
"Gita nerobos ujan. Dia pake payungnya yang udah dilipet itu buat mukul Ezra yang masih neduh di lobi sama gue waktu itu. Ezra sewot, lah, orang dia ngerasa enggak bersalah. Anak-anak RS angkatan kita yang masih ada di sana jadi saksi juga. Nah, sejak itu mereke berdua kalo ketemu selalu pasang tatapan sinis ke satu sama lain. Puncaknya pas latihan buat RS2P kemaren. Lo udah tau, lah, tiap latihan pasti debat mulu." Gio menyudahi sesi berceritanya.
Gita menyelinap di antara Faza dan Gio yang duduk bersebelahan, "Udah ceritanya? Yang lain juga udah balik. Jadi, sekarang lo berdua bisa menyingkir dari sini."
Sementara mata Gio tidak mendapati Ezra ketika memeriksa seisi ruangan untuk membuktikan perkataan Gita, "Ezra mana?"
"Oh, dia ke kantin bawah." kali ini si pendiam Alfa-lah yang menjawab.
"Tau gitu, gue nitip es krim." Faza memasang wajah kesal yang dibuat-buat dengan kedua tangan yang terbalut oversized hoodie berwarna abu-abu terlipat di depan dadanya.
Gio akhirnya menyeret Faza untuk segera berjaga di dekat pintu ruangan untuk memanggil peserta audisi nantinya. Bersamaan dengan itu, Ezra datang dengan kantung plastik yang begitu mencurigakan di mata Faza. Gita sudah siap di posisi duduknya, menunggu Adrian dan Mada sembari bermain ponsel. Tanpa diminta, Ezra duduk di samping Gita dan mengeluarkan es krim rasa coklat yang langsung ditempelkan pada pipi Gita. Sementara Gita yang merasa aktifitasnya terganggu hendak mengomel pada si pengganggu. Namun, kekesalannya langsung kembali ia telan saat melihat satu bungkus plastik es krim mochi yang biasa ia beli di kantin bawah.
"Buat lo." ujar Ezra yang membuat Gita langsung mengambil es krim mochi itu dari tangannya.
Gita masih terheran-heran sampai kesadarannya kembali saat Ezra beranjak, "Eh, lo ngasih ini ada maksud apa?"
Bukan suara Ezra yang Gita dengar, melainkan suara Faza yang merengek meminta es krim pada Ezra, "Zra, kan, gue yang lagi BM es krim!"
"Ya, mana gue tau." balas Ezra tak peduli.
Hanya ada 16 peserta dari 20 pendaftar yang hadir untuk audisi hari ini. Berbagai macam peserta audisi berhasil membuat Gita, Adrian, dan Mada geleng-geleng kepala. Bahkan ketika sudah mencapai peserta ke-10, mereka tak juga menemukan titik terang. Gita dan yang lainnya sudah sama-sama jenuh ketika peserta ke-11 memasuki ruangan. Perempuan berambut ikal dengan kacamata tebal membingkai wajahnya. Jangan lupakan kardigan merah yang dikenakannya. Lupakan penampilannya yang tampak tak menarik. Nyatanya, siswa kelas 11 bernama Bianca itu mampu memenuhi ekspektasi Gita dan kawan-kawannya. Mada dan Adrian melempar senyum pada Gita, menandakan Bianca adalah kandidat yang tepat.
"Mulai minggu depan, setiap hari Rabu, lo ikut latihan sama kita." ucap Gita dengan senyum penuh ketika Bianca menyelesaikan nyanyiannya.
"Serius, Téh?" pekik Bianca tidak percaya.
Gita dan yang lainnya mengangguk.
"Makasih, Kang, Téh." ucap Bianca sopan sebelum keluar dari ruangan AVI.
Selain Bianca, ada satu lagi peserta yang lolos audisi, Giselle namanya. Ia merupakan peserta ke-15 dan sama-sama duduk di kelas 11 seperti Bianca. Dengan begitu, Acoupella akhirnya memiliki formasi yang lengkap.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acoupella
Teen FictionCharets Love Story #3 [COMPLETED] Menggabungkan beberapa kepala menjadi satu bukanlah perkara yang mudah. Berkat guru seni musik mereka, Gita, Ezra, Faza, Adrian, Mada, Gio, dan Alfa harus bisa berdamai pada satu sama lain. Acoupella, tempat di mana...