"Git... Gita, lo kenapa, sih?" Anggi akhirnya menepuk pundah Gita yang sudah beberapa kali ia panggil namun tak menoleh sedikit pun.
Gita yang baru saja kembali ke dunia nyata nampak terkejut, "Hah? Kenapa?"
Anggi menahan napas kesal karena ternyata Gita tak mendengarkan penjelasannya sejak tadi, "Ih, lo nyebelin, ya."
"Ya, maaf. Emang lo tadi ngomong apa, sih?" tanya Gita yang sedikit merasa bersalah.
Alasan Gita tidak memerhatikan sekitarnya tadi adalah karena ia kembali teringat dengan apa yang terjadi dua hari lalu saat Ezra mengantarnya kembali ke rumah. Salahkan Ezra yang sudah membuat hati dan pikirannya berantakan selama dua hari terakhir ini. Memang tidak terjadi apa-apa saat Gita berkumpul dengan teman-temannya di Moira. Semua itu disebabkan karena sebuah pertanyaan bodoh keluar dari mulut Gita.
"Lo hari ini kenapa, sih?" tanya Gita yang bingung dengan tingkah aneh Ezra sejak lelaki itu menjemputnya di rumah sebelum pergi ke Moira.
Ezra menoleh mengangkatkan alisnya setelah menggantungkan helm yang Gita pakai pada gantungan barang di motornya, "Emang gue kenapa?"
Gita melipat kedua lengannya di depan dada, "Lo aneh. Lo enggak habis dirukiah, kan? Soalnya aura jahat lo tiba-tiba ilang gitu aja."
"Ya, enggaklah. Emang gue aneh kenapa coba?" bantah Ezra yang sudah jengkel dengan Gita yang terlalu bertele-tele.
Gita mengangkat jari telunjuk tangan kanannya kemudian dilanjut jari berikutnya satu per satu, "Pertama, lo turutin candaan Faza buat jemput gue ke sini. Kedua, lo mau nemenin gue beli es krim padahal lo selama ini lo selalu ninggalin gue. Ketiga, lo minjemin jaket lo ke gue."
Ezra menahan tawa, "Lo baper? Enggak pernah dibaikkin sama cowok kayak gue?"
"Wah, percuma, ya, gue percaya lo beneran baik ke gue. Udah sana pulang. Gue masuk dulu." Gita yang kesal dengan tanggapan Ezra langsung memutar tubuhnya, hendak membuka pintu pagar rumahnya. Namun Ezra menahan lengannya.
"Baper sama gue juga enggak apa-apa, Git. Soalnya gue suka sama lo." setelah menyatakan kalimat itu, Ezra langsung melajukan motornya meninggalkan Gita yang masih membeku di tempatnya.
Sementara Ezra, di kelasnya, merutuk pada dirinya sendiri perhal kebodohan yang ia lakukan dua hari yang lalu. Entah apa yang melintas dalam benaknya saat itu sampai kalimat yang selama hampir tiga tahun ini tersimpan dengan baik, ia lontarkan begitu saja tanpa beban. Kini, Ezra juga tidak tahu apakah dirinya harus menyesal ataukah bersyukur karena akhirnya Gita mengetahui perasaannya yang menjadi rahasianya selama ini.
"Gue goblok banget, Yo." rutuk Ezra yang tak habis pikir pada dirinya sendiri.
Aryo yang sedang memainkan game di ponselnya pun tak paham pada teman sebangkunya itu, "Terus lo maunya gimana?"
Ezra menyandarkan kepalanya di atas meja, "Gue enggak tau harus gimana kalo ketemu sama Gita lagi."
"Lah, bego. Lo, kan, sama Gita satu band. Pasti bakal ketemu pas latihan. Gimana, sih?" Aryo menyudahi permain dalam ponselnya. Ia sudah lelah pada Ezra yang sejak tadi menggerutu tak jelas.
Ezra hanya menghela napas berat. Sudah pasti dirinya dan Gita akan membuat suasana menjadi canggung di latihan berikutnya. Dan sepertinya sekeras apapun usahanya mencoba meminimalisir pertemuannya Gita di sekolah, Ezra malah dipertemukan dengan perempuan yang kini sedang menyebutkan pesanannya pada salah satu penjual makanan di kantin bawah. Sekolah seluas dua hektar itu ternyata juga tidak membantu sama sekali. Malah Ezra merasa bahwa dunia semakin sempit.
Gita yang baru saja selesai membayar, hendak kembali ke meja di mana teman-teman sekelasnya berada dengan satu botol fruit tea di tangan kanannya. Namun langkahnya terhenti karena mendapati kehadiran Ezra yang baru memasuki area kantin bersama teman sebangku lelaki itu yang bernama Aryo. Ezra sama-sama terdiam ketika mata mereka bertemu.
Anggi menyenggol lengan Gita yang berada di sebelahnya, "Git..."
"Ah, iya. Ayo." Gita menarik lengan Anggi untuk segera menuju meja mereka.
Bergabung bersama teman-teman sekelasnya di salah satu meja panjang kantin, Gita mendapatkan satu pesan personal yang dikirimkan oleh Ezra. Lelaki itu duduk berbeda dua meja dari mejanya. Ia bisa melihat Ezra memberi kode padanya supaya segera membaca pesan darinya. Gita pun akhirnya membuka ponselnya untuk membaca beberapa bubble chat yang Ezra kirimkan di ruang obrolan mereka.
Ezra
Lupain aja perkataan gue kemaren
Lo ga perlu merasa terbebani
Perasaan gue, tanggung jawab gue
Jadi please jangan canggungGita menatap sebentar lelaki yang sedari tadi memperhatikannya itu. Ia tidak tahu apakah dirinya harus merasa senang atau kecewa. Lelakiitu seperti sedang bermain tarik-ulur dengannya. Walaupun merasa sedikit kesalkarena merasa dipermainkan, pesan yang ia kirimkan pada Ezra sebagai balasanhanyalah satu kata persetujuan.
Ezra
Oke
Bukan rasa lega yang Gita dapatkan setelah membalas pesan dari Ezra. Entahlah, rasanya semua serba salah.
"Ya, udah, sih, Git. Kalo lo emang enggak punya perasaan apapun ke Ezra, harusnya lo enggak ambil pusing." Anggi yang sejak tadi gusar dengan tingkah sahabatnya itu akhirnya angkat bicara.
Kalimat yang Anggi lontarkan membuat Gita tertegun, "Gi, tolong bilang ke gue kalo begini emang lebih baik, kan?"
Anggi mengangguk, "Kalo lo sama Ezra emang udah sepakat tanggung jawab sama perasaan masing-masing, berarti itu yang terbaik."
"Eh, tapi lo beneran enggak ada perasaan apa-apa gitu sama Ezra?" tanya Anggi setelah jeda cukup lama.
Gita hanya menatap Anggi lurus-lurus. Pembahasan ini cukup sampai di sini.
"Ah, iya. Gue ngerti." ucap Anggi yang menangkap sinyal dari tatapan Gita.
Dan di hari-hari berikutnya, Gita dan Ezra memang tidak saling menghindar. Namun jelas keduanya tampak canggung ketika harus berinteraksi. Bahkan ketika diskusi bersama Acoupella sedang berlangsung di AVI beberapa hari setelahnya, keduanya tak mampu menutupi kecanggungan di antara mereka. Kesepakatan Gita dan Ezra melalui pesan singkat tempo hari dirasa sia-sia.
Faza yang memiliki tingkat kepekaan yang cukup tinggi pun menyipitkan mata bergantian ke arah Gita dan Ezra penuh kecurigaan, "Lo berdua bukannya udah baikkan, ya?"
Ezra dan Gita yang sedang menunduk menatap lembaran sheet music dari Mada pun kompak mengangkat kepala kemudian mengangguk.
Faza menyenggol lengan Gio yang duduk di sebelahnya, "Lo ngerasa ada yang aneh sama mereka enggak, sih?" tanyanya lirih sambil mengangkat dagu menunjuk kea rah Gita dan Ezra yang duduk berhadapan dengan mereka.
Gio pun melipat kedua lengannya di depan dada, menatap Gita dan Ezra penuh selidik.
"Kalo kita bikin lagu sendiri gimana?" tanya Mada tiba-tiba.
Semua mata yang duduk melingkar di atas karpet AVI itu menatap Mada cukup terkejut. Gita dan Ezra merasa lega karena akhirnya pembahasan Faza dan Gio teralihkan. Namun perasaan tak yakin mengenai ide yang baru saja diusulkan Mada juga muncul seketika. Membuat lagu sendiri memiliki peluang antara mungkin dan tidak mungkin.
"Lo yakin, Mad?" tanya Adrian menyuarakan keraguan yang lainnya.
Mada mengangguk mantap dengan senyum di bibirnya, "Hari Jumat lo semua harus ke rumah gue."
Nama temen sebangkunya Ezra di chapter 3 dan di chapter ini aku ganti jadi Aryo, ya. Soalnya nama Cikal ternyata juga kepake jadi rekannya Ezra ngeband di Moira. My mind just messed up. Sorry for making you confused.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acoupella
Teen FictionCharets Love Story #3 [COMPLETED] Menggabungkan beberapa kepala menjadi satu bukanlah perkara yang mudah. Berkat guru seni musik mereka, Gita, Ezra, Faza, Adrian, Mada, Gio, dan Alfa harus bisa berdamai pada satu sama lain. Acoupella, tempat di mana...