-13-

149 24 0
                                    

Berjalan menuju gerbang dengan menahan tangis, Gita tak sengaja berpapasan dengan Anggi. Ia teringat bahawa sahabatnya itu juga baru selesai rapat divisi. Dan hanya dengan satu pertanyaan, tangis Gita pecah saat itu juga. Anggi langsung mengurungkan niat bertanyanya lebih lanjut. Sebagai satu-satunya orang yang paling dekat dengan Gita selama hampir tiga tahun duduk di bangku SMA, Anggi tentu cukup memahami Gita.

Dalam pelukan Anggi, Gita menumpahkan tangisnya. Anggi menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu, memberi ketenangan. Sudah lebih tenang, Gita akhirnya melepaskan diri dari pelukan Anggi. Perempuan yang nampak berpenampilan ceria dengan rambut dikepang dua dan jumpsuit berbahan jins itu menunduk dalam sisa tangisnya.

"Lo bawa motor?" tanya Anggi.

Gita hanya mengangguk pelan.

"Gue anter sampe rumah, oke?" Anggi jelas tahu Gita tidak akan mampu membawa motornya sendirian dalam kondisi seperti ini.

"Gue enggak mau pulang." lirih Gita.

Anggi menunduk mencari wajah Gita yang tertunduk, "Lo mau kemana? Gue temenin."

Gita mendongakkan wajahnya pelan, "Mau gelato."

Anggi pun akhirnya memutuskan menemani Gita ke Ciwalk. Terdapat kedai gelato kesukaan Gita di sana. Mal yang sama-sama berlokasi di Jalan Cihampelas itu tentu menjadi destinasi jalan-jalan favorit sebagian besar siswa sekolah di sekitarnya. Maka, tak jarang pula didapati pengunjung yang masih mengenakan seragam sekolah selepas jam sekolah. Bahkan bertemu dengan teman satu sekolah pun bukan hal yang asing lagi.

Mendapati kedua mata Gita yang masih sembab, Anggi meminjamkan kacamata tanpa lensa miliknya. Gita sempat menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. Namun, begitu kepalanya menoleh pada kaca spion motornya dan mendapati penampilannya cukup berantakan, Gita berterima kasih. Setelah itu, keduanya langsung beranjak menuju kedai gelato yang terletak di bagian depan mal. Di akhir pekan seperti ini, tentu mal lebih ramai dari hari-hari biasanya. Banyak orang-orang yang menghabiskan waktunya bersama keluarga atau teman di sana.

Gita memesan rasa Milky Way dan Matcha Brownie untuk mengisi cup dengan dua scoop-nya, sementara Anggi memilih rasa Almond dan Sexy Strawberry. Setelah mendapatkan pesanan, keduanya memilih duduk di salah satu meja yang berada tepat di sebelah jendela. Keduanya menikmati gelato dalam keheningan. Gita masih enggan bersuara sementara Anggi tak ingin membuat sahabatnya tak nyaman dengan pertanyaannya. Dengan kehadiran Anggi di sampingnya saja, Gita sudah jauh merasa lebih baik. Saat kedua mata Gita menemukan gelato di cup-nya hanya tinggal setengah, ia baru mengangkat wajahnya menatap Anggi.

"Udah enakan?" tanya Anggi.

Gita mengangguk pelan. Makanan manis terutama es krim memang selalu bisa membuat perasaannya jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Gara-gara Ezra lagi?" tanya Anggi hati-hati.

Gita menatap sahabatnya itu takjub, "Kok, lo bisa tau?"

Anggi menyandarkan pundaknya ke sandaran kursi, "Kayaknya hampir semua orang yang masih di sekolah tau kalo Ezra tadi ngebentak lo."

Gita menghela napas pelan, "Kayaknya gue juga emang udah keterlaluan sama dia."

"Kenapa jadi lo yang ngerasa bersalah gini?" kini Anggi yang dibuat bingung.

"Udah diobrolin juga kita bakal tetep kayak gini, Nggi. Enggak ada solusi dari obrolan waktu itu selain mencoba mengerti posisi satu sama lain. Dan lagi-lagi, gue cuma bisa kabur. Terus rasanya enggak adil aja yang lainnya enggak bisa latihan gara-gara gue sama Ezra berantem." jelas Gita.

Anggi tersenyum, "Lo keren, Git."

Gita cukup terkejut dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Anggi. Dirinya tak bisa menemukan sisi mana yang bisa disebut keren.

"Gue enggak pernah liat lo berusaha sekeras ini sebelumnya. Nemuin apa yang selama ini lo mau emang luar biasa, Git. Dan menurut gue, lo udah berusaha yang terbaik sejauh ini." Anggi memang baru kali ini mendapati Gita seserius ini menggeluti satu bidang dan ia cukup takjub dengan perubahan yang cukup drastis itu.

Rasanya, Gita ingin menangis satu kali lagi. Kalimat Anggi benar-benar membuatnya tersentuh. Anggi rupanya betul-betul tahu apa yang ia perlukan selama ini. Apresiasi. Karena sekeras apapun Gita selama ini berusaha, ia tidak pernah mendapat kalimat yang Anggi ucapkan itu dari orang lain. Dan memiliki Anggi di sampingnya sebagai sahabat adalah salah satu hal yang paling ia syukuri dalam hidupnya.

"Gue masih mau liat panggung-panggung Acoupella selanjutnya, Git. Jadi, cepet baikkan sama Ezra, ya." ucap Anggi sebelum kembali melahap es krim yang tersisa di cup-nya.

Gita mengangguk yakin. Ia tidak akan lagi menghindar. Sebesar apapun persoalan yang terjadi, Gita akan hadapi. Meyakinkan diri, Gita akan berusaha berbicara pada Ezra saat latihan di hari Rabu esok. Namun, rencana hanyalah rencana karena rupanya takdir berkata lain. Bimo, ketua kelas, baru saja mengumumkan bahwa kelas mereka akan digabungkan dengan kelas XII IPA 3 pada jam mata pelajaran olahraga nanti. Jadwal mata pelajaran olahraga XII IPA 1 dan XII IPA 3 memang ada di jam dan hari yang sama. Tapi sebelumnya, kegiatan mereka dilakukan secara terpisah.

"Git, mau ganti baju enggak?" tanya Anggi yang akhirnya mendapatkan perhatian Gita.

Dengan cepat, Gita meraih totebag berisi pakaian olahraganya dan pergi bersama Anggi menuju toilet.

Sampai di lapangan basket, sudah ada beberapa siswa yang duduk menghadap pohon jambe. Gita dan Anggi kemudian langsung mengambil duduk di belakang barisan perempuan bersama teman-teman sekelas yang lainnya. Sedikit demi sedikit, sisi lapangan basket yang teduh itu dipenuhi oleh siswa. Dari posisi duduknya, Gita bisa melihat tiga guru mata pelajaran olahraga di sekolahnya datang. Dicarinya sosok Ezra di antara barisan laki-laki kelas IPA 3 dan ia tidak menemukan lelaki itu ada di sana.

"Kalian udah tau, kan, kalo telat kalian harus apa?" Bu Ida berbicara dengan sekelompok siswa di barisan paling belakang.

Gita bersama siswa lainnya mengikuti arah pandang Bu Ida. Di sana Ezra dan dua temannya baru saja sampai di lapangan basket dengan napas terengah. Detik berikutnya, Ezra bersama dua temannya itu langsung melakukan bending sebanyak sepuluh kali sebagai hukuman karena telat. Setelah sesi hukuman berakhir, Bu Ida, Pak Edi, dan Pak Dani membuka pertemuan penjelasan mengenai kegiatan apa yang akan dilakukan selama jam mata pelajaran olahraga kali ini.

"Seperti biasa, kita lakukan pemanasan dulu, lalu lari lima keliling di track." penjelasan Bu Ida disela oleh beberapa siswa.

"Ibu, kalo tiga keliling aja gimana?" tanya Sasti, salah satu siswa yang enggan melakukan pemanasan yang paling dihindari sebagian besar siswa itu itu.

"Mending lima keliling atau lebih?" Pak Edi kini bertanya pada Sasti.

Sasti memasang wajah cemberut, "Iya, Pak. Lima aja."

Pak Dani kemudian melanjutkan menjelaskan mengenai permainan softball yang akan mereka lakukan pada pertemuan hari ini. Karena permainan ini dibutuhkan dua tim, maka kelas IPA 1 dan IPA 3 akan diadukan. Di babak pertama, kelas IPA 1 menjadi tim penjaga dan hanya beberapa orang yang terpilih ikut bermain, sementara kelas IPA 3 menjadi tim yang memukul dan mengharuskan semua siswa mencoba memukul bola dengan tongkat pemukul. Semua pemain kemudian bersiap ke posisinya masing-masing sesuai dengan aba-aba Pak Dani.

Di babak ini, Gita tidak ikut bermain dan memilih duduk di tepi lapangan bersama teman-teman sekelasnya yang juga tidak ikut bermain. Matanya menilik Ezra yang berdiri tak jauh darinya menunggu giliran. Setelah banyak pertimbangan, Gita akhirnya bangkit dari duduknya menyusul Ezra. Lebih cepat, lebih baik, bukan?

"Zra," panggil Gita pada Ezra yang juga belum mau menoleh padanya.

"Siapa yang mau mukul selanjutnya?" tanya Pak Edi yang sedang mengawasi permainan dari tepi lapangan.

"Saya, Pak!" dengan cepat, Ezra mengangkat tangannya kemudian meninggalkan Gita.

Ezra menghindarinya. Sebesar itukah kesalahanyang ia buat tempo hari?

See you on the next chapter :)

Enjoy!

Love, Sha.

AcoupellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang