-19-

131 28 1
                                    

Hanya satu lagu yang Acoupella ciptakan untuk ditampilkan di panggung besar F2WL. Namun perjalanan yang harus mereka lalui ternyata masih cukup panjang. Mulai dari menentukan nada dasar piano yang akan menjadi instrumen utama, mengaransemen lagu, sampai rekaman. Namun pekerjaan mereka harus terhambat karena Gita dan Mada masih juga belum menemukan melodi yang pas untuk mengiringi. Bahkan kemarin, Gita dan yang lainnya baru pulang dari rumah Mada pukul delapan malam. Mada yang tidak ingin bertele-tele pun meminta Gita datang ke rumahnya di hari berikutnya.

Sampai di studio, Gita langsung mengambil duduk di kursi empuk milik Mada, mengistirahatkan tubuhnya di sana. Memutar kursi ke kanan, Gita langsung berhadapan dengan sebuah keyboard. Mada yang sedang mengatur alat-alat di studionya pun menyalakan keyboard yang sejak tadi menarik perhatian Gita. Mungkin sudah hampir delapan tahun sejak Gita terakhir memainkan tuts-tuts piano itu. Walaupun di rumahnya terdapat grand piano milik ibunya, Gita hampir tak pernah menyentuh alat musik melodis yang satu itu.

Mencoba mengingat beberapa chord yang penah ia pelajari, Gita pun menekankan jari-jarinya di atas tuts piano dengan perasaan takut. Mada yang masih sibuk dengan amplifier pun menoleh saat suara piano terdengar. Meskipun suara piano dari satu chord ke chord yang lainnya terdengar kaku, Mada hanya membiarkan Gita menjajah pianonya. Ia yakin jika Gita sedang mencoba menemukan sesuatu dengan permainan kakunya itu.

"Git, gue ke bawah dulu, ya, bentar." pamit Mada sebelum meninggalkan studio.

"Ya." balas Gita yang masih enggan beralih dari keyboard untuk hanya sekedar menoleh pada sang pemilik rumah.

Walaupun Gita tidak terlalu mahir bermain piano, lebih tepatnya kaku, setidaknya ia memiliki dasar-dasar bermain piano. Perempuan yang kini rambutnya diikat menjadi satu itu memang memahami teori-teori dalam bermusik. Saat ulangan harian seni musik di kelas 11 pun Gita selalu mendapat nilai tertinggi di antara teman-teman sekelasnya. Mencoba beberapa chord dasar, Gita akhirnya menemukan suara yang dirasa pas untuk mengiringi draf lagunya itu. Ia hanya perlu Mada menyempurnakannya ketika lelaki itu kembali nanti.

Gita menghela napas lega karena rupanya permainannya tidak seburuk itu. Menyandarkan kembali pundaknya pada sandaran kursi, Gita memutar kursinya. Ia mengambil laptop dari dalam tas ransel yang tergeletak di lantai. Setelah laptopnya menyala, Gita langsung membuka software di mana ia menyimpan file suaranya untuk mencocokkan ketukan dengan chord piano yang ia coba tadi. Masih terdengar kaku, namun permainannya kali ini jauh lebih terdengan pas dengan bantuan suara metronom dari laptopnya. Kegiatannya diinterupsi oleh kedatangan Mada yang membawa nampan berisi botol air mineral dan makanan ringan. Lelaki itu tidak sendiri ternyata. Kedatangannya diikuti oleh kedatangan Ezra yang entah kenapa bisa ada di sana.

"Gue minta Ezra dateng juga karena gue pikir dia bisa bantu kita juga. Enggak apa-apa, kan?" tanya Mada menaruh nampan di atas meja kopi dekat sofa.

"Oh, iya. Enggak apa-apa, lah." balas Gita mencoba bersikap santai.

"Jadi, lo udah ngapain aja ngutak-ngatik keyboard gue?" tanya Mada yang kini sudah berdiri di samping keyboard sambil melipat kedua lengannya di depan dada.

Gita mendongak sekilas menatap Mada, "Menurut gue, ini yang paling cocok buat lagu kita."

Gita pun memutar draf lagu dari laptopnya sembari memainkan kembali tuts-tuts piano sesuai dengan chord yang ia inginkan. Sebenarnya, Gita tidak buruk-buruk amat dalam memainkan piano karena pada dasarnya Gita memang memahami cara bermainnya. Mada mengangguk-angguk paham pada permainan piano Gita yang hanya mengulang beberapa chord itu. Akhirnya, ia tahu apa yang Gita mau. Dirasa melodi dasar yang Gita mainkan terdengar cocok, ide-ide pun bermunculan di kepala Mada.

"Gimana?" tanya Gita yang sudah melupakan cara bermain pianonya yang sangat kaku itu.

"It's fine. Kita bisa pake itu buat jadi dasarnya." balas Mada.

Selanjutnya, Mada mengambil alih pianonya sembari meminta pendapat Gita. Tak lupa dengan Ezra yang juga membantunya dalam mencocokkan kunci piano supaya Gita dan Ezra sama-sama bisa bernyanyi dengan baik. Butuh waktu kurang lebih empat jam sampai ketiganya sepakat untuk memakai aransemen piano terakhir yang Mada mainkan.

"Lo ada sheet music enggak?" tanya Gita pada Mada yang duduk di sebelahnya.

"Ada di kamar gue. Bentar." Mada pun beranjak dari duduknya kemudian keluar dari studio.

Hanya tinggal Gita dan Ezra di dalam studio. Gita duduk menghadap mixer, sementara Ezra berada di samping keyboard. Mereka tak berinteraksi selain karena Ezra beberapa kali bertanya mengenai nada yang benar pada Gita saat mereka mencoba bernyanyi bersama tadi. Saling melempar pandang, keduanya sama-sama dilanda kecanggungan. Jika dulu segala hal bisa mereka ributkan, kini tak ada satu pun topik yang terlintas di kepala mereka.

"Gimana rasanya bisa bikin lagu padahal enggak bisa main alat musik?" tanya Ezra mengisi keheningan di antara mereka.

"Apa? Itu maksudnya muji atau ngeremehin gue, ya?" walaupun cukup terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari Ezra, Gita menoleh dengan tatapan sinis.

"Dua-duanya?" Ezra malah bertanya balik.

Suara pintu terbuka membuat perhatian Gita dan Ezra teralihkan. Mada sudah kembali dengan beberapa lembar sheet music yang masih kosong di tangannya.

"Nih, Git. Buat apa, sih, emangnya?" tanya Mada meletakkan lembaran kertas itu di atas meja.

"Biar gue tulisin notasinya di sini." jawab Gita mengeluarkan tempat pensil dari tasnya.

Mada hanya mengangguk-angguk kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celana training-nya, "Kalo ajakin yang lainnya ke sini juga gimana? Biar minggu depan, kita bisa kasih denger Pak Bowo demonya."

Baik Gita maupun Ezra mengangguk setuju. Lebih cepat akan lebih baik pula. Mereka masih memiliki tugas mengaransemen ulang beberapa lagu cover yang akan mereka bawakan juga di F2WL. Dengan begitu, Mada langsung mengirimkan di group chat supaya Faza, Adrian, dan Gio bisa bergabung untuk menyelesaikan track mereka. Untuk saat ini, Bianca dan Giselle belum diperlukan untuk hadir. Namun mereka akan sangat diperlukan saat rekaman nanti.

"Yo, lo enggak lupa bawa saxophone lo, kan?" tanya Mada memutar kursinya menghadap pintu masuk studio ketika mendengar suara Mada yang baru saja datang.

"Ih, lo, kan, enggak bilang kalo gue harus bawa. Ya, enggak gue bawa ke sini, lah." Gio yang hendak menyandarkan tubuhnya di sofa menatap Mada sinis.

"Terus lo ke sini mau ngapain? Gue enggak ada saxophone di sini." Mada membalas tatapan Gio tak kalah sinis.

Gio beranjak dari duduknya dengan kesal, "Emang enggak suka liat gue istirahat bentar, ya, lo pada. Bentar, gue ambil di mobil dulu."

Sebenarnya, siapa yang dikerjai dan mengerjai? Baik Gita, Ezra, Mada, Faza, dan Adrian yang ada di studio mengira bahwa Gio meninggalkan alat musik tiup itu di rumah. Nyatanya, Gio hanya meninggalkan saxophone-nya di mobilnya yang terparkir tepat di halaman rumah Mada.

Sekembalinya Gio ke studio, mereka pun langsung mengerjakan lagu mereka yang masih terdengar sangat kosong itu. Untuk masalah yang satu ini, Gita menyerahkan pada ahlinya, yaitu Mada. Ezra, Faza, Gio, dan Adrian tentu bisa bekerja sama untuk mengisi kekosongan dalam ragu mereka dengan instrumen musiknya masing-masing. Tak diduga-duga, Gita dan Ezra bisa langsung rekaman karena mereka berhasil menyelesaikan seluruh bagian instrumen pengiring lagu di hari itu juga.

This is a work of fiction, tapi latar sekolah yang dipake di seri Charests Love Story emang beneran ada.

Enjoy!

Love, Sha.

AcoupellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang